165 Tahun HPI GKP: Butir-butir Refleksi

Oleh: Pdt. Hariman A. Pattianakotta

Pada 11 Juli 1855. Seratus enam puluh lima tahun silam. Dua orang putra Sunda di Banten, Minggu dan Sarma dibaptis. Peristiwa pembaptisan dua orang dari Cikuya ini kemudian diperingati sebagai Hari Pekabaran Injil GKP.

Momentum 165 tahun lalu setidaknya menegaskan dua hal pokok. Pertama gereja dan pekabaran Injil tidaklah bisa dilepaskan. Gereja ada justru karena dan untuk misi pekabaran Injil. Inilah raison d’etre atau alasan keberadaan gereja. Kedua, pekabaran Injil pada hakikatnya bermaksud untuk membawa manusia mengalami kasih Allah yang memanusiakannya. Jadi, pekabaran Injil tidak sama atau bukan kristenisasi, tetapi humanisasi. Sebagai karya humanis, pekabaran Injil dilakukan dalam beragam aspek kehidupan yang fokusnya adalah pada pembangunan manusia seturut dengan nilai-nilai Injil Kerajaan Allah.

Nilai-nilai Kerajaan Allahlah yang menjadi dasar dan spirit gereja dalam melakukan praktik misi. Gereja menyemai nilai-nilai tersebut melalui proses pembinaan, pendidikan, dan pembangunan manusia agar menjadi manusia yang bernilai dan utuh.

Karena itu, gereja tidak hanya melakukan pembinaan mental spiritual, tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit agar manusia dapat dibangun secara utuh.

Pelayanan di dalam dunia pendidikan dan kesehatan adalah bagian penting karya pekabaran Injil yang membawa dampak signifikan dalam mendorong kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negara. GKP sebagai gereja yang tumbuh dan hidup di Jawa bagian Barat (Propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Propinsi Banten) memiliki rekam jejak penting dalam dua bidang pelayanan tersebut.

Sebagai gereja hasil pekabaran Injil NZV, GKP mewarisi beberapa rumah sakit dan sekolah. Dalam spirit pelayanan pekabaran Injil untuk memanusiakan manusia itu, GKP juga mendirikan dan mengelola perguruan tinggi, yakni Sekolah Tinggi ilmu Kesehatan Imanuel Bandung, dan UK. Maranatha bersama GKI Sinode Jawa Barat, saudara kandung yang sama-sama diasuh oleh NZV.

Tak bisa dipungkiri bahwa pekabaran Injil di wilayah Jawa bagian Barat cukup banyak mendapatkan tentangan, baik dari pemerintah kolonial di masa lalu, juga oleh sebagian masyarakat Jawa Barat sendiri. Mengenai hal yang terakhir ini, Jawa Barat oleh zending Hendrik Kraemer malah pernah disebut sebagai Nova Zembla, padang tandus. Penilaian semacam ini tentu masih diwarnai oleh sikap keagamaan yang memandang kekristenan lebih unggul dari yang lain. Jika masyarakat menolak Injil yang disampaikan dengan gaya Barat di masa lalu, maka hal itu dipandang sama dengan membiarkan diri untuk hidup dalam situasi tandus dan gersang.

Sikap superior semacam itu jugalah yang menyebabkan gereja kian tertolak. Dari latar belakang penolakan tersebut, para zending kemudian membangun desa-desa Kristen di Jawa Barat, yang terpisah dari masyarakat yang menolak mereka.

Sejarah tersebut mengajar GKP di kemudian hari untuk membangun paradigma bergereja yang inklusif. Rumah sakit atau pun sekolah dan perguruan tinggi yang dikelola oleh GKP benar-benar diabdikan untuk memanusiakan manusia tanpa perasaan superior.

Relasi persaudaraan dengan umat agama lain, khususnya dengan Islam, terus dipupuk dan dikembangkan. Relasi antar umat beragama ini sudah seyogianya dibangun demi mewujudkan masyarakat yang harmonis dan bergotong-royong menanggulangi masalah-masalah kemanusiaan dan lingkungan. Karena itulah, melalui pertimbangan yang cukup panjang, GKP kemudian menetapkan visi Menjadi Gereja bagi Sesama” sebagai visi GKP secara sinodal.

Sesama yang dimaksudkan dalam visi tersebut tentu tidak terbatas pada sesama anggota GKP, melainkan sesama manusia secara universal. Bahkan, alam sebagai sesama ciptaan Tuhan.

Visi tersebut mencerminkan komitmen GKP untuk hadir secara relevan dan signifikan dalam kehidupan sosial masyarakat, bangsa, dan negara. Visi tersebut yang mendorong GKP untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Hal ini mengingatkan GKP akan misi Allah, missio Dei, yang jauh lebih besar dari dirinya. Menjadi gereja bagi sesama adalah cara GKP menghayati misi Allah dalam konteks historis dan sosialnya di masa kini.

Bertolak dari visi dan konteks sejarah-sosial yang dijalani GKP hingga di masa pandemi sekarang ini, sudah sepatutnya di Hari Pekabaran Injil (HPI) GKP yang ke-165 tahun ini, GKP semakin bergairah untuk melakukan panggilan pekabaran Injil demi mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune).

Pandemi Covid-19 yang terjadi sekarang ini sudah pasti memberikan tantangan tersendiri bagi GKP dan gereja-gereja lain. Gereja-gereja serta agama-agama lain juga ditantang oleh krisis akibat Covid-19 untuk memperbarui perspektif bergereja dan beragama.

Pertama, kita semakin diingatkan bahwa keselamatan bersama sebagai manusia adalah hal yang sangat penting. Gereja dan agama-agama sejatinya ada untuk menata-layani kehidupan manusia dan alam agar menjadi hidup yang penuh kasih, adil, dan sejahtera sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah.

Kedua, komunitas-komunitas lain yang berbeda bukan lawan, tetapi kawan untuk membangun peradaban. Karena itu, spirit hidup bersamalah yang perlu dihidupi. Bukan semangat kontestasi tetapi kooperasi. Perasaan superior atas yang lain sudah seharusnya ditinggalkan oleh semua penganut agama.

Ketiga, karya konkret membangun peradaban mesti terus dilipatgandakan. GKP dan gereja-gereja lain serta komunitas agama lain sudah harus menurunkan surga ke bumi. Pelayanan sosial dalam bidang lain, selain pendidikan dan kesehatan, sudah harus dilakukan dengan sama baiknya, terlebih dalam bidang ekonomi.

Guncangan besar (great disruption) akibat Covid-19 telah merusak tatanan ekonomi. Rakyat dan umat dalam situasi krisis ini terus membutuhkan logistik untuk bertahan, sehingga kita semua mesti berdaya secara ekonomi. Maka, karya-karya karitas dan pemberdayaan dalam bidang ekonomi perlu mendapatkan perhatian lebih di masa pandemi dan pasca pandemi. Dengan spirit gotong-royong kita betolong-tolongan mencegah dan mengatasi dampak krisis yang lebih besar lagi.

Kita tidak bisa mencari selamat sendiri. Kita mesti bergandeng tangan untuk selamat bersama-sama. Inilah yang sesungguhnya dikehendaki oleh Allah kehidupan. Mengupayakan keselamatan bersama melalui karya nyata di masa sekarang ini adalah cara terbaik kita merayakan dan melakukan karya pekabaran Injil. Spirit ini harus tumbuh dan dilakukan secara konkret, mulai dari pribadi, keluarga, jemaat, klasis, sampai dalam lingkup kehidupan bersinode, bermasyarakat, dan bernegara.

Selamat HPI GKP, gereja kita semua. Gereja bagi sesama. Tuhan memberkati GKP.

(Pendeta GKP yang bertugas sebagai pendeta UK. Maranatha)