Oleh Pdt. Supriatno
Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Semalam kita istirahat, sepanjang istirahat itu kita yakin Tuhan tidak tidur. Tuhan mendampingi dan melindungi kita. Puji Tuhan.
Kita akan merefleksikan Firman Tuhan dari kitab Roma 5:3b-4, “ Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.”
Saudaraku, kita suka mendengar kata “kearifan lokal”. Yaitu gagasan dan nilai yang suka dipraktikkan dalam hidup sehari-hari di sebuah masyarakat. Diwariskan secara turun-temurun, oleh sebab terasa manfaat kebijakannya.
Bisa jadi, salah satu kearifan lokal yang sering kita temui yaitu menyikapi sebuah musibah dengan mengungkapkan kata, “untung”. Jika ada kejadian perampokan di sebuah rumah, lalu dibilang “untung perampok itu hanya mengambil sebagian hartanya”. Tapi, jika perampok itu menguras semua benda berharga. Tetap bisa muncul ungkapan “untung”. Untung perampok itu tidak melukai pemilik rumah yang dirampok itu. Niscaya, jika perampok itu melukai sang korban. Saya yakin, masih tersimpan untung yang berikutnya.
Saudaraku, itulah kearifan lokal yang paling kita kenal. Ada pembelajaran di dalamnya. Bahwa setidak ideal apapun sebuah kenyataan, kita masih bisa menemukan sisi baik. Sebuah kenyataan buruk tidak absolut buruk seluruhnya. Ada sisi positif yang dapat kita lihat. Dengan kearifan demikian, menciptakan daya tahan mental dan kejiwaan menghadapi kenyataan seberat apapun.
Lalu, bagaimana dengan kearifan firman Tuhan? Iman dan identitas kristen suka diperhadapkan dengan kesengsaraan. Tidak terkecuali Jemaat di kota Roma. Seolah-olah ada garis tangan harus menghadapi kesengsaraan. Di sini, rasul Paulus mengajak melihat kesengsaraan. Betul, kesengsaraan di mana pun dan kapanpun tidak menyenangkan. Dari dulu sampai sekarang, yang namanya kesengsaraan itu menyakitkan.
Rasul Paulus menasihati mereka bahwa kesengsaraan tidak mutlak buruk. Ternyata kesengsaraan membentuk sikap ketekunan. Dari sana berbuahkan tahan uji. Dan kemudian tahan uji melahirkan pengharapan. Jadi, seiring hadirnya kesengsaraan ada pembelajaran positif yang bisa kita dapatkan.
Tidak heran, rasul Paulus menghadapi kesengsaraan tidak cengeng, patah semangat, jiwa yang loyo tapi dengan bermegah. Karena orang beriman yang mau belajar dari sebuah realitas buruk, mereka akan mendapatkannya.
Saudaraku, siapa yang bisa menyangkali bahwa dampak virus corona sungguh berat. Ekonomi terguncang. Pendapatan seseorang menurun, malah ada yang stop sama sekali. Bepergian tidak bebas. Biasanya tiap hari ada jadwal acara kemana-mana. Sekarang pagi di rumah, siang di rumah, malam pun di rumah sampai berminggu-minggu.
Secara kejiwaan tingkat kecemasan tinggi. Saking cemasnya, ada yang tidak mau menerima tamu, padahal itu rekan kerjanya yang punya tingkat kesadaran kesehatannya tinggi. Dan paling dramatis, virus itu merenggut nyawa dan banyak keluarga berduka.
Saudaraku, mampukah kita memiliki cara pandang kearifan firman Tuhan atau kearifan lokal? Yakni, kita masih menemukan sisi yang memungkinkan menjadi modal kita bertahan. Masih tersisakah dasar untuk bermegah? Atau dalam bahasa iman, apakah ada dasar kita tetap bersyukur?
Di sinilah, iman itu menyuguhkan sisi kekuatannya. Dalam hal ini membantu kita melihat dan punya pola berpikir yang positif. Kita yakin bahwa di balik kerugian besar yang diakibatkan virus corona ada berkat terselubung. Ada blessing in disguise. Langit kota Jakarta biasanya keruh, kini warna birunya kelihatan. Paru-paru kita lebih lega saat bernafas. Karena saking tingginya tingkat polusi. Konon, lapisan ozon lebih baik. Biasanya gas rumah kaca menyemorotnya tiada istirahat. Lapisan es di kutub makin menebal.
Gereja mengakui, selama ini lebih mengkultuskan pemimpin dan popularitasnya, daripada Tuhan Yesus Sang Raja Gereja. Dan dalam kehidupan pribadi, orang makin takut Tuhan. Umat beriman sadar dirinya rapuh, dididik lebih rendah hati. Ada guyonan, “dampak positif saya kerja di rumah di rumah adalah, bukan prestasi kerja. Malah bobot badan bertambah!
Artinya, melihat realitas seburuk apapun dengan kaca mata iman, kita tetap punya pengharapan. Terdapat sisi baik di balik sebuah peristiwa. Itu modal besar kita untuk bertahan. Kita tidak mengidealisir realitas buruk. Apalagi memuja-muja virus corona, sama sekali tidak. Kita melawannya. Namun, Allah bisa menghadirkan hal baik untuk kebaikan kehidupan manusia, seiring mewabahnya virus tersebut. Dengan demikian, bersama Allah kita dapat terus melangkah. “Untung” punya Allah Yang Maha Baik. Terpujilah Dia.