Oleh Pdt. Supriatno
Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Saat kita terbangun dari tidur kita, marilah kita mengarahkan rasa syukur dan terima kasih kita kepada Allah yang Maha Baik.
Firman Tuhan diambil dari, Markus 4:37-38 “Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”
Saudara, kedekatan dengan Tuhan secara fisik tidak menjamin seseorang bebas dari kekuatiran. Siapapun tahu, relasi Guru dan murid senantiasa mencerminkan kedekatan. Tatkala kita mengklaim bahwa kita adalah murid Yesus dan Yesus adalah Guru Agung kita, kita tengah menyatakan kedekatan kita dengan-Nya. Secara badani maupun kejiwaan. Tapi, sayang tatkala ada bahaya besar di depan matanya, ketakutan ternyata lebih dominan berkuasa di hatinya. Ketimbang rasa yakin bahwa Tuhan akan sigap bertindak menolongnya. Pelajaran ini yang dapat kita petik dari firman Tuhan hari ini.
Para murid Tuhan tengah berada dalam perahu. Di perahu yang sama hadir juga Tuhan di sana. Bedanya, mereka semua kondisi terjaga, sedangkan Tuhan Yesus tertidur. Kelelahan yang tinggi membuat Tuhan Yesus perlu istirahat. Di tengah perjalanan mengarungi danau itulah, tiba-tiba ombak datang. Perahu sederhana dan berukuran kecil itu tentu saja menjadi oleng. Ombak lebih besar dibanding perahu mereka. Air menyembur dan masuk dalam perahu. Insting mereka berbicara ada bahaya datang. Situasi mencekam. Nyawa terancam. Sementara itu, Tuhan Yesus tidak terjaga dari tidur. Para murid agak dongkol kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus sama sekali tidak terbangun. Lelap dengan tidur-Nya. Menurut mereka itu wujud masa bodoh Guru atas keselamatan diri murid-Nya.
Saudaraku. Karena saking takutnya dan seolah Tuhan terus asyik dengan tidur-Nya, akhirnya mereka tidak tahan. Mereka membangunkan Tuhan Yesus. Malah disertai ungkapan yang kurang sedap didengar, “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”. Rasa takut yang telah memuncak sampai mereka berkesimpulan bahwa Tuhan tidak perduli hidup dan keselamatan mereka. Padahal, secara fisik betapa dekat sekali dengan Tuhan Yesus. Tidak lebih dari 10 meter. Lebih dari itu Guru mereka ada dalam perahu yang sama.
Saudaraku, di mata Tuhan Yesus perasaan dan tindakan para murid, itu sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa, mereka kurang percaya. Ketakutan mereka mengalahkan keyakinan atas Allah yang peduli. Ketakutan punya kekuatan yang bisa meruntuhkan bangunan kepercayaan seseorang.
Yang berbahaya adalah saking takutnya atas ombak kehidupan, lalu ‘melompat keluar perahu’. Mengambil cara sendiri yang malah fatal akibatnya. Karena tidak sabar seolah-olah Tuhan tidak “action”. Akhirnya, mengambil keputusan yang berakhir sesal. Selain itu, orang yang over dosis rasa takutnya, lalu menakut-nakuti yang lain. Ketakutan pribadi menjadi ketakutan kolektif. Ketakutan personal ingin menjadi ketakutan komunal. Itu, yang kita lihat dari tulisan hoax yang beredar di mana-mana sekarang berkaitan dengan situasi terkini.
Ironisnya. tidak sedikit kita pun bisa temukan banyak opini dan tulisan yang jika kita mau simak dan resapi. Ternyata di dalamnya secara halus ada getar kandungan ketakutan. Hanya dengan rapi dibungkus oleh bahasa rasional bahkan keagamaan. Memang, begitulah kita, manusia. Antara pilihan takut dan berani yang selalu kita gumuli setiap saat.
Sesungguhnya, sikap demikian ada dalam kehidupan setiap orang. Saat ombak kehidupan yang besar menghantam hidup kita. Dalam hal ini mengambil bentuk berbagai ujian hidup. Apakah itu sakit, kehilangan pekerjaan, sulitnya menemukan pekerjaan yang menyejahterakan, anak yang kurang perhatian, orang tua yang asyik dengan dunia egoismenya sendiri. Dan kini dengan kasus virus korona melanda setiap jengkal wilayah negara manapun. Bukan tidak mungkin ada bertanya atau muncul perasaan Tuhan tidak perduli. Tuhan tidur.
Saudaraku, Tuhan tahu batas-batas kemampuan dan keberadaan kita. Ia pun tahu ketakutan dan kecemasan kita. Ia peka. Ia tidak tidur. Karena itu, kita musti tetap ada dalam satu perahu dengan-Nya. Jangan melompat keluar perahu. Kita memuji bukan meragukan dengan ungkapan, “Guru, Engkau tidak perduli aku binasa?”
Saudaraku, Tuhan itu berada dalam satu perahu dengan kita. Dia senantiasa berjaga-jaga, tidak tidur saat kita terancam kesulitan. Ia sungguh perduli. Kesadaran dan keyakinan ini, hendaknya juga kita rasakan dan hayati dari hari lepas hari. Selama kita hidup mengarungi dunia ini. Kita berlayar satu perahu dengan-Nya. Dan kita lihat, Dia sungguh perduli. Dengan suasana itulah, hidup sehari-hari kita diwarnai. Bagaimanapun, kita dalam perjalanan satu perahu dengan-Nya. Rona suka cita bukan ketakutan, hendaknya memancar dari wajah kehidupan orang percaya.