Pada saat saya masih di Sekolah Rakyat (kini Sekolah Dasar) nyaris setiap malam ayah meminta saya membaca 1 -2 alinea dari teks bacaan yang terdapat dalam buku bahasa Indonesia. Beliau berpesan agar dalam membaca diperhatikan tanda baca dengan cermat, ada koma, tanda seru, titik, dan sebagainya. Kata ayah apabila kita membaca dengan memperhatikan tanda baca maka bukan saja terdengar lebih enak, ada turun naik, tidak monoton tetapi juga kisah yang diuraikan dalam buku atau teks dapat ditangkap dengan lebih baik.
Ayah adalah seorang guru SR milik pemerintah di kampungku, tak jauh dari stasiun kereta api Cakung, dulu termasuk kabupaten Bekasi dan kini termasuk Kelurahan Pulogebang Jakarta Timur. Ia sangat mencintai pekerjaannya sebab itu ia menjalaninya hingga memasuki usia pensiun.
Ayahku Samuel Sairin termasuk sesepuh di kampung itu, warga Gereja yang ikut menjadi tulang punggung komunitas Gereja Kristen Pasundan Cakung yang saat itu diasuh oleh Jemaat GKP Kramat Jakarta Pusat.
Ayah lahir 2 Juni 1895 dan meninggal tahun 1975.
Beliau memang menekuni Bahasa Indonesia sebab itu sangat concern dengan bahasa Indonesia.
Pada saat saya kecil seusia SD komunitas GKP di Cakung itu ada lebih kurang 5 KK belum punya gedung gereja. Acapkali ibadah Minggu dilakukan di rumah kami. Para pelayan firman di atur oleh MJ GKP Kramat alm. Bpk.Jabes Rikin, Guru Injil Ana Aliambar.
Kini Jemaat GKP Cakung telah makin bertambah anggotanya bisa mencapai 80 KK. Atas amanat ayah, keluarga kami menghibahkn lahan kami 500 m2 yang kini diatasnya dibangun gedung gereja.
Pada awalnya saya agak kesal juga setiap malam mesti membaca teks didepan ayah. Tapi karena sebagai guru ayah terlihat amat tekun memberi koreksi jika intonasiku kurang tepat atau salah, maka lama kelamaan saya enjoy dengan aktivitas itu. Apa yang ayah ajarkan dan teladankan dalam hal intonasi ternyata amat bermanfaat dalam tahun-tahun berikut tatkala saya menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bahkan hingga di masa kini.
Membaca dengan memperhatikan tanda baca itu amat penting. Dengan memperhatikan tanda baca maka intonasi bisa terwujud dan makna teks bisa ditangkap dengan tepat. Contoh: bagaimana kita membuat spanduk “Selamat Datang Bulan Oikoumene” Penempatan tanda baca koma akan membedakan makna spanduk itu. Lihat bedanya :
SELAMAT DATANG, BULAN OIKOUMENE! dan
SELAMAT DATANG BULAN, OIKOUMENE!
Spanduk ke-2 bukan saja menjadi vulgar tetapi juga isinya tak berkaitan dengan maksud awal pembuatan spanduk itu.
Dalam pidato, kampanye, ceramah, khotbah, membaca Teks Liturgi, membaca Alkitab, membaca Warta Jemaat di Gereja, intonasi sangat penting selain membaca teks dengan tepat.
Dalam Ibadah Minggu ada Gereja-gereja yang dalam liturginya memberi ruang bagi pembacaan Mazmur. Alangkah indah dan enak didengar jika Mazmur dibaca dengan intonasi-tidak monoton, dibaca dengan perasaan dan penghayatan.
Melalui cara itu umat akan makin mencintai Kitab Mazmur dan makin memahami kandungan maknanya. Mari kita membaca dengan intonasi!