Harapan Itu Menguatkan

Oleh Pdt. Supriatno

Opa-oma, ibu-bapak, mas-mbak dan seluruh saudaraku yang baik di dalam Tuhan, selamat pagi. Syukur dan terima kasih kepada Allah, sampai hari ini kita dipelihara dengan penuh kasih.

Firman Tuhan hari ini, ”Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku.” Yohanes 5: 7

Saudaraku, pepatah kita menyatakan “menunggu adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan”. Hal itu bisa benar, apalagi yang ditunggu tidak kunjung datang. Termasuk menunggu kesembuhan saat sakit. Ketika terbaring sakit maka orang yang sakit, menghadapi berbagai pertanyaan, “ apakah saya bisa sembuh? Kapankah gerangan penyakit ini lepas dari saya? Pertanyaan demikian muncul, terlebih jika sakitnya sudah berlangsung lama.

Sungguh, menderita sakit merugikan banyak aspek. Ruang gerak dan aktivitas sangat terbatas. Seluruh kegiatannya hanya di sekitar kamar perawatan di rumah sakit atau di rumah. Wajar, kejenuhan dan kebosanan menyergap orang yang sakit. Itu- itu saja yang dilihat atau orang yang dijumpai. Variasi orang yang ditemui amat terbatas. Tidak heran kunjungan sanak saudara dan teman akan berarti, sebab bertemu wajah baru dengan kabar baru. Itu semua menjadi selingan yang menolong keluar dari kemonotonan.

Sakit juga menjadi beban sosial. Bagaimanapun menimbulkan efek kerepotan. Terutama keluarga harus mendampingi, sekalipun dirawat di rumah sakit.Beda jika tinggal di kampung kualitas keperdulian masih kuat dan jarak tinggal kerabat keluarga cukup dekat. Bantuan dari luar mengalir deras. Sebaliknya sakit di kota besar, maka anggota keluarga yang tinggal serumah jadi tumpuan utama. Sementara itu, mereka sendiri punya tugas dan kewajiban lain yang sering tidak bisa ditinggalkan.

Tentu, kita pun harus memperhitungkan dampaknya atas biaya. Syukurlah, jika yang sakit ikut asuransi kesehatan atau punya fasilitas tunjangan kesehatan dari kantor. Jika tidak, oh biaya sakit itu berat. Mahal. Penyakit yang kategorinya berat dengan masa penyembuhan lama, akan melemahkan sumber daya keuangan.

Tuhan Yesus tahu hal-hal berkaitan dengan konsekuensi yang dipikul orang sakit dan keluarganya. Tuhan juga paham suasana batin dan perasaan seorang yang sakit selama 38 tahun. Wow, lama sekali. Selama itu pula ia hanya tergeletak. Sulit dibayangkan daya tahan mental dan kejiwaan orang menderita sakit selama itu. Secara personal, saya belum pernah menemui. Namun, bisa dibayangkan orang sakit itu sudah habis-habisan. Dananya, sanak saudaranya, tingkat harapan sembuhnya, pasti sudah merosot.

Tuhan Yesus menemui orang sakit yang tengah sendirian itu. Bisa jadi keluarganya sudah angkat tangan. Menyerah. Mereka sudah pergi semua. Cuma si sakit tetap di pinggir kolam. Ia masih berharap ada seseorang yang masih tergerak menolongnya. Dalam hal ini menceburkannya ke kolam yang bila bergoncang dipercayai bahwa orang yang paling pertama terjun ke kolam itu akan sembuh. Selama ini ia selalu terlambat. Selalu ketinggalan. Kalah dalam persaingan.

Saudaraku, tubuh orang sakit itu pasti ringkih. Tiga puluh delapan tahun kurang gerak. Tiga puluh delapan tahun hidupnya diliputi pertanyaan penuh kerisauan, “kapankah kesembuhan itu tiba?”. “Adakah yang berkenan membantuku?” Orang di sekelilingnya sudah menyerah. Tapi dia tidak. Dia tetap menunggu bahwa kelak kesembuhan itu menjadi kenyataan.

Ketika Tuhan Yesus bertanya, si sakit berkisah tentang kegagalannya. Sehingga ketika Tuhan Yesus menawarkan apakah dia mau sembuh. Dia menyangka Tuhan Yesus akan membantunya menceburkan dia ke dalam kolam itu. Ternyata dugaannya keliru.

Yesus menawarkan kesembuhan dengan mempertimbangkan kepercayaan si sakit itu. Dengan melihat apakah dia menuruti yang diminta Tuhan Yesus, “mengangkat tilam dan berjalan”. Rupanya orang itu tetap menyimpan harapan sembuh dan sekaligus percaya kepada Tuhan Yesus. Ia mengikuti permintaan Tuhan Yesus. Maka, seketika itu juga dia sembuh.

Dan benarlah, kunjungan dan perjumpaan dengan Tuhan Yesus menjadikan penantiannya tidak sia-sia. Waktu penantian yang panjang yang melelahkan lahir dan batin, terobati sudah oleh cinta kasih Tuhan Yesus.

Saudaraku, penantian atas apapun membutuhkan kesabaran, pengorbanan, dan tidak jarang rasa putus asa diam-diam datang. Terutama jika yang dinanti tidak kunjung tiba. Kita yang menanti situasi lebih baik, baru mulai bulan Maret, rasanya sudah lama. Efek virus kita masuk dalam penantian. Sebuah situasi yang belum memberikan tanda-tanda perubahan. Justru lebih sulit lagi.

Tapi, kita yakin bersama Tuhan Yesus kita tidak sendirian. Ia Sahabat yang menguatkan, bahkan Dia sendiri juga yang membuat pengharapan itu dan penantian digenapi dengan indah pada waktunya.

Kita berdoa, “ Allah, Engkaulah sumber kekuatan kami. Mampukan kami agar bersabar dan bertahan saat kami menantikan realita yang indah dapat terwujud dalam hidup kami. Dan mampukan kami untuk terus percaya kepada-Mu sebagai benteng pertahanan hidup kami. Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.