Jangan Tunggu Nanti

Oleh Pdt. Supriatno

Bacaan: 1 Raja-raja 17:9

Sejak Senin, kasih Tuhan tetap setia menemani. Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Kita bersyukur pagi ini kepada Tuhan.

Kita akan merefleksikan firman Tuhan untuk pagi ini, Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.”

1 Raja-raja 17:9

Saudaraku, tentu kita pernah mendengar nasihat, atau jangan-jangan kita pun pernah mengutarakannya, ”kiranya yang kuat menolong yang lemah. Yang kaya mengulurkan tangan kepada mereka yang miskin”. Nasihat bijak agar tumbuh sikap kerpedulian. Ya, yang kuat jangan menutup mata atas kesusahan yang dihadapi yang lemah. Yang miskin jangan tercecer tanpa topangan orang yang secara finansial kuat. Peduli dan berbagi merupakan praktik ideal yang patut diwujudkan.

Meskipun demikian, nasihat demikian patut dihindari dari kesalah mengertian. seolah-olah kita baru membantu bila telah kuat lebih dahulu. Tafsir seperti itu, berarti kita akan membantu yang lemah, ya, tapi nanti setelah kita kaya. Sesudah kita maju baru kita membantu. “nanti bila saya sudah kaya. Itulah saatnya tiba saya mengulurkan pertolongan”.

Saudaraku, pola pikir demikian tentu berbeda dengan teks bacaan kita. Sayangnya, praktik itulah yang kerap terjadi. Seseorang enggan berbagi atau berperan serta meringankan kesulitan Sesama lain, memakai alasannya tadi. Kami kecil. Kami belum mapan dari aspek kekayaan. Nantilah! Atau juga, dengan dalih lebih yang bernada tajam, “saya saja masih susah, masa sih saya musti bantu. gak salah, tuh !

Sudah janda, miskin lagi. Suatu kombinasi yang menunjukkan perempuan yang ditemui nabi Elia ini orang kecil dan lemah. Status janda waktu itu menunjukkan posisi sosial rendah. Sedangkan miskin menandakan secara ekonomi perlu bantuan. Jelas, perempuan itu tipe orang yang membutuhkan pertolongan. Dia wujud konkrit orang susah. Masa depannya buram.

Tapi, apa yang kita lihat? Ke perempuan itulah nabi Elia diarahkan Tuhan untuk mendapatkan makanan. Ke sang janda dan miskin itu, Allah memerintahkan Elia mencari pertolongan. Bukan tidak mungkin terbersit kesangsian pada diri nabi Allah itu, “apakah tidak salah Allah menyuruh ke sana?” Apa yang bisa didapatkan dari orang yang kondisinya sendiri justru dirinya sendiri musti dibantu. Perempuan itu tidak layak dimintai, yang pantas ia yang diberi.

Saudaraku, janda dan miskin. Hidup perempuan itu pasti berat. Pertanyaan apakah besok bisa makan, adalah pertanyaan utama dalam sosok perempuan seperti itu. Dan, lihatlah, saat nabi Elia meminta makan kepadanya. Tidak ada sepotong roti pun. Tersedia cuma segenggam tepung, minyak dan kayu untuk mengolahnya. Setelah jadi roti hanya untuk sekali makan, setelah itu mereka akan kelaparan. Persediaan untuk penyambung hidup sekali makan saja. Tak lebih dari itu. Sepotong roti yang jadi satu-satunya konsumsi untuk anaknya hari itu. Esok, adalah hari ketidak jelasan.

Saudaraku. Suatu gambaran kemiskinan ekstrim. Bisa jadi, nabi Elia bergumul batinnya saat meminta makan. Sebab, dengan meminta roti itu, ia sama dengan merampas sumber hidup satu-satunya milik janda itu. Bahkan, roti itu pun buat anaknya. Begitu pula, sang janda miskin, ia pasti bergumul hebat pula. Batinnya terombang-ambing. Jika memberikan tepung roti itu, lalu bagaimana dengan dirinya dan anaknya? Dalam kekurangan harus memberi, bagaimanapun sungguh merupakan momen pergumulan.

Saudaraku, kita tahu akhir kisah ini. Si janda miskin bisa keluar dari pergumulan. Ia yakin dengan ucapan nabi Elia bahwa apabila bermurah hati memberikan tepung roti itu, Tuhan akan membuat persediaan makanan yang tak akan habis. Ia percaya dan patuh atas janji Tuhan lewat suara seorang nabi.

Janda miskin itu lolos dari dilema. Ia memilih memberi di tengah ketidak berdayaan. Ia membantu, pada saat dirinya sendiri pada posisi pihak yang musti dibantu. Almarhum Bunda Theresa menyatakan, “ jika mengasihi, mengasihilah sampai terluka”. Artinya memberi yang sungguh-sungguh penuh pengorban. Janda miskin itu memberi kita contoh nyata. Janda miskin itu memberi bukan dari kelebihan tapi dari kekurangan.

Hari ini, posisi kita di mana? Jika kita sekarang adalah orang yang kuat secara sosial dan ekonomi. Ulurkan tangan untuk mereka yang lapar dan haus. Kekuatan kita menjadi kekuatan yang memberdayakan pihak yang butuh bantuan. Jika saat ini, kita belum maju dan kuat, ternyata firman Tuhan mengetuk kita, bahwa kita pun harus berbuat terhadap mereka yang amat membutuhkan. Jangan tunggu nanti, tatkala Allah meminta kita untuk peduli dan berbagi. Jangan menunggu kaya lebih dulu. Mapan lebih dulu. Saat di depan mata kita hadir sosok yang betul-betul tiada berdaya. Ingatlah janda Sarfat. Teladani sikap dan perbuatannya. Kelak Tuhan juga tidak akan membuat kita kekurangan.

Kita berdoa, “Tuhan, berilah kami hati yang mau peduli atas mereka yang menghampiri untuk dibantu.” Amin