Kata Yang Penuh Makna

*REFLEKSI ALKITAB*
Minggu 27 Januari 2019.

_”Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang”_ (Kolose 4:6)

Oleh Weinata Sairin

Kita patut bersyukur kepada Tuhan oleh karena Ia menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk berbicara, kemampuan untuk berkata-kata. Kata, _word_ itu sangat penting dan besar maknanya dalam membangun komunikasi dan relasi antar manusia. Pada waktu kecil, ayah yang adalah seorang guru selalu memberi nasihat agar kata-kata yang sopan digunakan dalam berkomunikasi. “Kata itu tidak harus dibeli, gunakanlah yang baik”. Itu yang dipesankan berulang-ulang sambil menyitir peribahasa bahasa Sunda.

Dalam pengalaman empirik, nasihat orang tua itu terbukti dengan amat jelas. Kata-kata yang baik, sopan, elegan yang kita gunakan baik lisan maupun tulisan berdampak besar bagi relasi antar pribadi dan relasi institusi. Pilihan kata, istilah dalam berkomunikasi dengan orang lain, apalagi dalam hal yang dianggap sensitif, sangat penting.

Oleh karena _kata_ adalah wujud dan wahana komunikasi antar manusia, maka fungsi dan peranan _kata_ penting sekali di semua bidang kehidupan. Di lingkup keluarga, komunitas, lembaga pemerintah dan swasta, parlemen, institusi keagamaan, dalam rumah ibadah dan sebagainya. Apalagi di ruang publik, yang biasanya dipantau media, diruang privat, dalam ibadah Gereja, kita harus sangat berhati-hati dalam memilih kata dan menggunakannya. Kotbah, Warta Jemaat, Tata Ibadah seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang standar.

Acapkali terjadi kotbah-kotbah Gereja menggunakan bahasa yang absurd, berbelit-belit, esensi dan message nya tak bisa ditangkap dan dicerna oleh warga jemaat. Belum lagi kesalahan mengeja, misalnya Republik Indonesia, dieja dengan *Repoblik Endonesia*.

Kita memahami bahwa kata, bahasa, kalimat bukan sekadar deretan huruf yang kemudian membentuk bunyi. Kata, bahasa, kalimat dalam arti yang esensial dan luas adalah ekspresi pemikiran seseorang, gambaran struktur berfikir seseorang dalam kurun waktu dan konteks tertentu. Kerancuan kalimat, adanya nuansa distortif dalam sebuah kalimat mencerminkan kerancuan dan distorsi yang terjadi dalam pemikiran seseorang.

Gereja harus mewartakan Injil hingga keujung bumi dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh umat dan publik. Dalam konteks ini Gereja harus benar-benar memberi perhatian pada aspek kebahasaan agar pewartaan itu relevan dan tepat sasaran. Kotbah Gereja, administrasi dan publikasi Gereja mesti berbasis pada pemahaman dan penguasaan kebahasaan yang standar.

Ayat Alkitab yang dikutip diawal tulisan ini mendorong umat agar “mengungkapkan kata-kata penuh kasih, jangan hambar…..”. Kata-kata yang bernafaskan kasih, penuh empati, menyenangkan, penuh rasa sayang memang amat dibutuhkan dalam berinteraksi dengan orang lain.

Pesan ini yang disampaikan pada abad-abad pertama kepada Jemaat Kolose yang hidup ditengah realitas kemajemukan tetap relevan bagi kita dizaman ini. Gereja dan komunitas Kristen Indonesia harus mampu menjadi komunitas yang menyuarakan bahasa kasih, elegan, penuh wisdom ditengah masyarakat majemuk yang nyaris hilang keberadabannya, tanpa membatasi dan atau kehilangan suara profetisnya sebagai Gereja Yesus Kristus.

Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless.