Kepedulian Menyelamatkan

Oleh Pdt. Supriatno

Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Puji syukur kepada Allah, kita masih dalam pemeliharaan Allah. semoga keluarga dan sesama kita pun mengalami hal sama.

Bacaan firman Tuhan dari Markus 2:5, “Ketika Yesus melihat iman mereka, berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu: “Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!”

Saudara, di tengah merebak virus korona yang tak kunjung usai. Mulai ada letup kejengkelan. Sasaran kejengkelan adalah mereka yang tidak menerapkan social distancing. Dalam hal ini, susah banget untuk tinggal di rumah. Dan kepada yang mendesain kegiatan yang bertentangan dengan social distancing.

Siang berada di tempat ramai. Malam menyesaki tempat kongko-kongko. Lebih memprihatikan pelakunya ada orang terdidik dan tokoh agama. Di Jakarta malah yang membuat aturan, justru yang melanggar. Memprihatinkan.

Saudaraku, sikap ini sungguh memperlihatkan ketidak pekaan. Seorang pendeta terkenal mencela ajakan untuk tidak salaman dan tidak melakukan ibadah konvensional. Dalihnya, virus korona seakan lebih berkuasa dari Tuhan. Kesannya sangat beriman. Saleh sekali. Padahal dia sedang ‘mensukseskan’ penyebaran virus makin panjang dan tak putus mata rantainya.

Berbeda sekali dengan 4 orang yang membawa orang lumpuh ke hadapan Tuhan Yesus. Beban seseorang menjadi pusat keperdulian mereka. Waktu, tenaga dan jerih juang mereka lakukan. Agar si lumpuh bertemu Tuhan Yesus, dan penderitaannya berakhir.

Sebuah tindakan terpuji. Dirinya berkorban, orang lain memetik buahnya. Tuhan Yesus menangkap di balik tindakan dan pengorbanan itu ada iman yang menggerakan. Karena itu Injil Markus mencatat, “ ketika Yesus melihat iman mereka…”. Betul, iman mereka bukan imannya. Ada sikap bersama. Tindakan solidaritas sebagai ungkapan iman.

Saudaraku, fenomena berbeda diperlihatkan para pelaku yang masih menutup telinga atas anjuran, hinbauan dan ajakan melakukan social distancing. Berkali-kali diberi tahu. Berulang-ulang diingatkan. Tinggallah di rumah, tetap bandel. Sebuah praktek egoisme bersebrangan dengan kepentingan orang lain. Itu tidak sejalan dengan iman.

Iman berorientasi berbuat baik. Sasaran tidak hanya diri sendiri. Cuma buat diri sendiri itu sempit, sesempit penerjemahan iman. Mengasihi diri sendiri itu dangkal. Sedangkal pemahaman keagamaannya.

Iman sejati menyasar diri sendiri. Tapi tidak berhenti di sana. Orang lain mendapat perhatian. Pertolongan diulurkan dan kebaikan ditabur bagi mereka.

Saudaraku, kesadaran untuk meringankan beban bukan menambah beban, itu yang dipraktikkan 4 orang yang menggotong orang lumpuh. Mereka tidak bernama. Identitas mereka tidak kita ketahui. Meski demikian sungguh relevan dan pas jika kita teladani di saat sulit ini. Banyak orang mulai menyediakan logistik cadangan di rumah. Kulkas dipenuhi. Sembako dilengkapi. Tapi, jangan lupa dan asyik sendiri. Ada ratusan atau ribuan dokter dan tenaga medis sedang berjuang. Bukan buat diri sendiri melainkan buat orang yang dilumpuh virus korona.

Tengoklah kanan-kiri tetangga kita, atau teman sejemaat kita. Adakah mereka juga tengah berjuang untuk tetap survive, bertahan di masa sulit ini. Italia jadi contoh buruk, Cina menjadi contoh baik. Bahwa kepekaan disetai keperdulian berbuah manis. Sedangkan ketidakpedulian dan asyik mengikuti sikap keras kepala berbuah pahit.

Kiranya kita bijak di tengah hidup yang diperhadapkan dengan tantangan dan ujian yang sama. Sama-sama berjuang memutus mara rantai persebaran virus ganas. Sama-sama bergandengan tangan saling menguatkan dengan doa, pengharapan dan tindakan saling meringankan.