Oleh Pdt. Weinata Sairin
Adeo in teneris consuescere multum est
Bila selagi masih muda membiasakan diri (dalam hal yang baik) hal itu akan bernilai tinggi.
Kebiasaan baik, yang dilakukan secara kontinu, konsisten, dan berkesinambungan, adalah sesuatu yang memiliki makna dan manfaat yang amat penting bagi kehidupan umat manusia. Apabila kita sejak kecil dibiasakan oleh orangtua kita untuk mengucapkan ”terima kasih”, ”mohon maaf”, dan ”tolong”, suasana pergaulan dan interaksi kita dengan banyak orang dari berbagai latar belakang akan terwujud dengan lebih baik.
Andaikata orangtua kita mendidik dan membiasakan kita sejak kecil untuk mengucapkan ”selamat pagi”, ”selamat sore”, atau ”selamat malam” tatkala kita berjumpa dengan orang lain maka hingga memasuki usia dewasa kita akan tetap melakukan hal itu. Kita tentu amat menyadari, betapa tekun dan sungguh-sungguh orangtua mendidik kita sejak kecil. Kita masih ingat, misalnya, pesan orangtua agar kita berdoa sebelum makan, jangan bersuara saat mengunyah makanan, dan jangan berbicara ketika ada makanan di dalam mulut.
Pembelajaran yang amat praktis, detail, dan disertai dengan peragaan dan keteladanan amat membantu kita saat itu dalam pertumbuhan. Semua ”materi pembelajaran” yang diberikan orangtua kita itu kemudian lebih diperkaya lagi dengan pembelajaran yang kita peroleh di lembaga kegamaan, lembaga pendidikan, dan kehidupan masyarakat.
Sebagai orang beragama, kita amat bersyukur kepada Tuhan karena Ia menganugerahkan orangtua yang tekun, rajin, dan setia sehingga dengan segala keberadaan mereka yang terbatas, mereka tetap menjalankan peran sebagai orangtua. Sejak kecil kita dibiasakan oleh orangtua kita untuk menjalankan kehidupan dengan baik, dan pendidikan yang diberikan oleh orangtua kita rasakan bahkan hingga kita sudah tua.
Pembiasaan (habituation) dikenal dalam dunia pendidikan sebagai proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat
otomatis melalui proses pembelajaran berulang-ulang. Pembiasaan memang bisa dilakukan oleh orangtua atau guru. Orangtua memerankan diri sebagai figur yang membimbing dalam proses pembiasaan itu sehingga jika sesuatu itu sudah tertanam dalam diri seseorang maka akan menjadi bagian dari sikap dan perilaku seseorang.
Pembiasaan berintikan pengulangan; yang
dibiasakan itu berlaku berulang-ulang sehingga akhirnya menjadi sebuah kebiasaan.
Kita berharap bahwa kegiatan pembiasaan itu masih tetap berlangsung dalam keluarga modern sekarang, di tengah serbuan internet dan penetrasi kuat dari era digital. Lembaga Civil Society punya peran besar dalam pelaksanaan proses pembiasaan itu, selain lembaga-lembaga pendidikan.
Kebiasaan membaca Kitab Suci dalam keluarga, kebiasaan melaksanakan ibadah bersama atau salat berjamaah dalam keluarga, kebiasaan untuk bicara dalam bahasa Indonesia yang baik dalam keluarga, kebiasaan makan bersama dan berwisata bersama keluarga adalah hal-hal yang perlu diteruskan melewati berbagai generasi menuju masa depan yang lebih ceria.
Pepatah yang dikutip di awal bagian ini mengingatkan kita bahwa jika selagi muda dibiasakan hal yang baik maka hal itu akan bernilai tinggi. Adalah tugas kita bersama untuk terus berupaya meneladankan dan membiasakan perbuatan positif kepada anak muda: sikap antisuap dan antikorupsi, sikap antidiskriminasi; sikap yang taat hukum, taat ajaran agama!
Masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan demoralisasi, intoleransi, KDRT, pelanggaran HAM, dan berbagai wujud kehidupan yang bertentangan dengan agama dan melawan hukum, apakah karena pada masa kecil kita kurang pembiasaan oleh orangtua kita, pengaruh roh zaman, atau karena faktor-faktor lain?
Kita bisa merenungkanya dengan saksama.
Selamat Berjuang. God Bless!