Oleh: Pdt. Hariman A. Pattianakotta
Jika Allah saja menciptakan perbedaan, maka kita tidak boleh menghapusnya
Agama selalu punya dua wajah, wajah yang membebaskan dan wajah yang memperbudak. Agama dapat menjadi obat, tetapi agama juga bisa menjadi racun. Aloysius Pieris menyebutnya ambiguitas agama. Fanatisme dan fundamentalisme adalah manifestasi dari sifat yang memperbudak dari agama. Fanatisme dan fundamentalisme itu bukan milik pusaka dari satu agama tertentu. Fanatisme dan fundamentalisme ada di dalam hampir semua agama.
Dalam studi sosiologi klasik, agama pernah diramalkan akan lenyap dari kehidupan masyarakat modern. Peter L Belger dalam kata pengantarnya untuk buku Everyday Religion turut mengingatkan kembali hal tersebut. Alasan pokoknya adalah karena modernitas disamakan dengan kemunduran agama (Belger 2017, vi). Paling banter, agama hanya akan eksis dalam ruang-ruang privat. Namun, kenyataannya prediksi ini meleset. Agama tetap hidup di masyarakat modern, baik dalam ruang-ruang privat maupun di arena publik.
Dalam antologi Everyday Religion itu, Nancy Ammerman mengatakan bahwa realitas sekularisasi dan religiusitas atau keagamaan bukan realitas zero-zum yang dengan ketat saling melawan satu terhadap yang lain, melainkan keduanya berada dalam batas-batas yang permeable (Ammerman 2017, 9). Satu contoh menarik untuk tesis ini diperlihatkan oleh Ziad Munson. Ia membuktikan dalam penelitiannya bahwa gerakan pro-kehidupan (pro-life) di Amerika bukan sekadar sebuah gerakan politik di ruang publik. Gerakan ini justru menemukan akar dan motivasinya dari gereja, khususnya dari tradisi gereja Katolik konservatif dan Protestan fundamentalis. Realitas ini menunjukkan bahwa batas antara politik dan agama menjadi berpori. Gerakan pro-life bersifat politis dan religius di saat yang bersamaan (Munson 2007, 122).
Jadi, agama memang tidak pernah mati dalam dunia modern yang sudah mengalami sekularisasi. Sebaliknya, kita menyaksikan fenomena agama yang tumbuh-semarak. Di Eropa, kita mulai melihat kebangkitan Islam. Sedangkan di Asia dan Afrika, kekristenan juga tumbuh dengan cepat. Sayangnya, kebangkitan agama ini tidak selalu disertai dengan kebangkitan etika. Eka Darmaputra malah menyatakan bahwa “kebangkitan agama” justru diiringi oleh “kemerosotan etika”. Agama-agama, menurut Darmaputra, sedang mengalami kemerosotan kepedulian etis yang amat serius (Darmaputra 2003, 62).
Di Indonesia, kemerosotan etika itu nampak dalam gejala di mana isu-isu etis yang menonjol, seperti kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, kesenjangan sosial-ekonomi, demokratisasi, HAM, ancaman kiamat ekologis, kurang sekali mendapat perhatian dan tidak menjadi isu utama agama-agama atau antar-agama. Agama-agama malah terjebak dalam urusan remeh temeh, seperti memperbesar dan mempercantik gedung-gedung ibadat, memperbanyak aktivitas-aktivitas ritual-seremonial. Atau, terlibat dalam polemik yang sama sekali tidak produktif, seperti boleh atau tidak memberikan ucapan selamat merayakan hari raya keagamaan kepada umat yang berbeda keyakinan. Maka, masalah-masalah etis yang lebih hakiki pun menggelinding ke kaki lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau kelompok-kelompok pekerja sosial yang dijuluki sebagai orang-orang “sekularis”, “humanis”, atau bahkan disebut kaum “radikalis” dan “ekstrimis”.
Pertanyaannya, bagaimana kita menjelaskan kenyataan yang paradoksial itu: agama menggeliat, tetapi etika sekarat? Menjawab pertanyaan itu, Eka Darmaputra yang meminjam pemikiran Robert Gordis mengatakan, bahwa kecenderungan yang menyertai “kebangkitan agama” adalah kecenderungan yang bersifat fundamentalis. Gordon secara khusus mencermati fundamentalisme Kristen dan Yahudi. Kedua kelompok ini memantulkan perasaan tidak berdaya di hadapan kuasa-kuasa raksasa yang sedang menggilas mereka: kekuasaan birokrasi yang membelit mereka di segala aspek kehidupan, perusahaan-perusahaan transnasional yang mendikte mereka, serta ketidakberdayaan menghadapi serbuan pers, radio, televisi, dan sekarang media sosial, yang memaksa mereka menelan opini dan rupa-rupa informasi tanpa sempat mengunyahnya. Selain itu, mereka juga menjadi gusar dan geram dengan berbagi bentuk perilaku dekaden yang terjadi di masyarakat. Mereka melihat semua perkembangan ini sebagai penyelewengan terang-terangan terhadap ajaran -ajaran agama yang fundamental. Oleh karena itu, kaum fundamentalis ini mengajak untuk kembali ke agama dan kitab suci. Namun, sayangnya, mereka tidak kembali ke ajaran Alkitab dalam arti yang sepenuh-penuhnya. Mereka hanya memakai potongan-potongan kitab suci secara selektif untuk mendukung ideologi mereka (Darmaputra 2003, 64). Jadi, dalam konteks Kristen, pendekatan mereka bukan alkitabiah, tetapi ayatiah.
Menurut saya, gejala yang mirip atau sama, terjadi juga di dalam Islam. Ada keprihatinan etis yang besar terhadap gaya hidup modern. Akan tetapi, keprihatinan etis ini tidak melahirkan pemikiran-pemikiran etis yang mendalam. Mengapa? Sebabnya adalah kebangkitan agama itu justru dibarengi dengan kecurigaan yang amat besar terhadap teologi dan teolog. Para teolog dituduh telah melacurkan teologi dengan humanisme, modernisme, dan sekularisme. Karena itu, agama harus “kembali ke iman yang benar”. Semboyan mereka: “Di mana tidak ada iman, tidak akan ada jawaban; di mana ada iman, di situ tidak akan ada pertanyaan” (Darmaputra 2003, 65).
Akibat dari “kebangkitan agama” yang demikian itu adalah matinya kreativitas dan dinamika orang beriman dalam berteologi dan beretika. Mereka bicara dengan perspektif yang serba “hitam-putih”, dan hal-hal yang sangat kompleks mereka sederhanakan. Mereka berusaha untuk membangun kualitas hidup yang menarik ke dalam, namun biasanya dibarengi dengan sikap kecurigaan dan permusuhan kepada semua yang berada di luar lingkaran mereka. Maka, tidak mungkin akan ada dialog dan kerja sama. Kaum fundamentalis hanya hidup berdampingan saja dengan yang lain, tetapi tanpa perjumpaan dan keterlibatan kritis. Paling banter adalah mereka akan memaksa untuk membuat kesepakatan-kesepakatan formal guna melanggengkan status quo. Artinya, fundamentalisme tidak mampu untuk melihat diri sendiri melalui mata orang lain. Orang lain dalam hal ini ialah suatu kompleksitas pihak-pihak lain yang bersaing, termasuk iman keagamaan, pengetahuan ilmiah, dan institusi-institusi politik yang lain. Fundamentalisme menolak gugusan tantangan-tantangan ini, dan kembali kepada eksklusivitas atau ketertutupan sikap-sikap kepercayaan pramodern (Borradori 2005, 106).
Lucien van Liere mencatat bahwa fundamentalisme itu menginginkan dua hal: kemurnian di dalam dan kekuatan di luar. Kemurnian didefinisikan sebagai kemurnian dogmatis dan moral. Dari ide mengenai kemurnian ini, fundamentalisme mudah tersinggung dengan semua kekotoran yang dilihatnya, seperti pornografi, korupsi, prostitusi, dan juga agama lain dan ideologi-ideologi seperti komunisme, sosialisme, dan sekularisme. Menariknya lagi, fundamentalisme agama ini tidak peduli akan keadilan dan perdamaian (van Liere 2010, 203). Dari sudut pandang fundamentalisme, manusia tidak murni, hanya dogma-dogma yang murni. Karena itu, jika dogma mereka tidak diikuti, maka manusia yang tidak mengikutinya dapat dihilangkan sebab mereka sama dengan kategori “kotor” atau “jahat”. Sampai di sini, fundamentalisme dapat menjadi terorisme. Jadi, kalau fundamentalisme mengambil kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan, yakni memurnikan dunia, maka fundamentalisme menjadi terorisme (van Liere 2010, 203). Jurgen Habermas memahami kekerasan ini sebagai patologi komunikatif. Menurutnya, spiral kekerasan dimulai dari suatu spiral komunikasi yang terdistorsi yang melalui spiral ketidakpercayaan resiprokal yang tak terkontrol menuju ke terputusnya komunikasi (Borradori 2005, 93-94).
Van Liere mencatat beberapa watak dari terorisme. Pertama, terorisme adalah sebuah ideologi yang menghormati sebuah hukum yang berada di atas semua hukum lain: hukum negara, hukum internasional atau hak asasi manusia. Terorisme melaksanakan hukum itu. Dengan melakukannya, terorisme mau “mengutip” hukuman Allah terhadap dunia. Perkataan lainnya, manusia menjadi instrumen teror dari Allah. Kedua, tujuan dari terorisme adalah menyebarkan ketakutan. Inilah ukuran suksesnya. Ketiga, terorisme menganggap pengorbanan seperti bom bunuh diri adalah sesuatu yang baik. Keempat, terorisme tidak peduli dengan objek/subjek yang menjadi sasaran kekerasan. Sebab orang-orang konkret ini sudah dimasukan ke dalam kategori-kategori mutlak seperti kejahatan, kebaikan, kemurnian, dll. Jadi, menghilangkan orang yang dianggap jahat adalah sama dengan menghilangkan kejahatan. Di situ partikularistas orang hilang. Terorisme menjadikan manusia konkret sebagai unanim/anonim (van Liere 2005, 203-204).
Saya sependapat dengan van Liere yang mengatakan bahwa secara pragmatis, fundamentalisme dan terorisme tidak boleh dibatasi pada fenomena-fenomena agama saja. Fundamentalisme dapat didefinisikan secara praktis sebagai sebuah usaha yang berhasrat membuat dunia identik dengan dogma-dogma yang kelihatannya fundamental. Dan, terorisme adalah kekuatan teror yang dapat diambil oleh semua orang (van Liere 2005). Abraham Silo Wilar misalnya mengkaji mengenai homo theologicus dan homo academicus yang juga bisa menjadi homo terroricus. Manusia teologi dan manusia akademik dapat menjadi teror bagi yang lain. Dua wajah ini dapat dilihat misalnya dalam sosok Abu Bakar Ba’asyir dan Buni Yani (2017). Dengan kata lain, semua orang dapat melakukan teror. Kalau muncul sebuah ideologi yang menggunakan teror sebagai motor dinamis, maka muncullah terorisme. Jadi, ada juga terorisme pasar, terorisme ekonomi atau terorisme politik.
Fundamentalisme dan terorisme yang dilegitimasi oleh agama dan ideologi lain perlu ditolak oleh agama-agama. Gereja secara khusus menolak fendamentalisme, terorisme dan kekerasan dalam nama Kristus. Dari perspektif mikro- naratif ini, dalam nama Dia/ Yesus Kristus, muncul ide bahwa kegiatan fundamentalisme dan terorisme juga terdiri dari orang yang konkret, dan membunuh orang konkret, orang yang – dalam nama Kristus – perlu dicintai dan dihormati sebagai imago Dei. Di sini gereja, dan agama-agama, perlu memperjuangkan posisi bahwa teroris juga harus dimengerti dari perspektif personal dan biografis, bukan hanya dari kekuatan dan perubahan kekuatan mondial.
Dalam kaitan itu, intepretasi Derrida cukup menarik. Dia menyebutkan peristiwa 11 September sebagai shock wave, gembong kejutan. Dia mengatakan bahwa gelombang kejutan ini tidak terisolasi, bukan kejadian spontan dan alami, melainkan hasil sementara dari sebuah kompleksitas yang terdiri dari sejarah, politik, ekonomi, media, dll (Borradori, 92). Sayangnya, tidak semua kematian dicatat dengan cara yang sama di berbagai sudut dunia. Oleh karena itu, tugas gereja adalah memberi “nama” terhadap para korban. Artinya, gereja mau menyatakan bahwa melalui cerita Kristus, kekuatan-kekuatan kematian yang membunuh manusia tidak lagi menang, tetapi dimatikan oleh Kristus di kayu salib. Salib menjadi simbol penolakan terhadap kekerasan, sekaligus simbol perjuangan untuk menghadirkan keadilan dan perdamaian.
Dengan memandang kepada salib Kristus, gereja dapat mengajak agama-agama untuk terbuka pada paradigma kemanusiaan partikular dan singular, dengan mengembangkan sebuah perspektif yang kritis terhadap diri sendiri. Gereja dan agama-agama perlu mewaspadai kecenderungan menjadi fundamentalis-teroris, dan secara inklusif mengembangkan relasi dan dialog yang konstruktif secara lintas agama/keyakinan. Dialog yang dimaksudkan di sini mencakup dialog karya, dialog teologis, dan dialog kehidupan untuk menciptakan perdamaian dan keadilan bagi semua orang. Semua orang di sini berarti tidak memandang status dan berbagai kategori yang anonim. Sebab, di dalam Kristus tidak ada lagi pembedaan orang Yahudi, Yunani, atau Romawi. Dalam 1 Korintus 5: 22, Paulus mengatakan: “karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus. Semua orang (pantes), tanpa terkecuali. Harapan untuk hidup (baru) bersama inilah yang harus dihidupkan dan diperjuangkan di dunia sekarang ini secara bersama-sama oleh agama-agama. Karena itu, agama-agama perlu belajar hidup saling menghargai dan saling menerima walaupun berbeda. Jika Allah saja menciptakan perbedaan, maka kita tidak boleh menghapusnya. Kita mesti menerima dan merayakannya, dan bersama-sama memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan etis yang dihadapi secara lintas agama, seperti kemiskinan, ketidakadilan, pelanggaran HAM, serta persoalan ancaman kiamat ekologis. Musuh agama bukanlah agama yang lain, tetapi kuasa-kuasa yang memiskinkan, yang menindas, yang merusak alam dan merusak kemanusiaan. Kuasa-kuasa itu adalah setan atau iblis dalam pengertian yang paling riil yang harus dijadikan sebagai musuh bersama. Karena itu, sudah saatnya agama-agama mengatasi jebakan institusionalisme, formalisme, dogmatisme dan ritualisme. Lalu, bersama-sama memberikan perhatian pada persoalan-persoalan etis yang lebih mendasar, sehingga pintu untuk dialog dan kerjasama antar-agama dapat terbuka lebar-lebar, dan kita mau memasukinya dengan rendah hati.