Menata Masa Depan

Oleh Pdt. Supriatno

Selamat pagi. Selamat menyongsong hari baru, Saudaraku yang baik dan dikasihi Tuhan.

Firman Tuhan mengantar aktivitas kita hari ini diambil dari kitab Kej 28: 15, “Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu.

Saudaraku, setiap orang menganggap penting masa depan. Terutama kerinduan punya masa depan yang cerah, atau penuh prospek. Tidak mengherankan, apa yang kita lakukan di hari ini dipengaruhi keinginan menjelmakan masa depan yang indah. Jika Anda punya anak dan cucu, tentu kita merancang agar mereka bisa merengkuh masa depan yang baik.

Dengan sekuat tenaga kita berjuang mengupayakan anak kita bisa duduk di bangku sekolah yang baik. Kita menabung atau menyisihkan anggaran buat pembiayaan pendidikannya. Makanan yang disediakan memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Kita mendorong mereka mengikuti berbagai kursus tambahan. Kursus musik. Kursus matematika. Untuk aoa? Semuanya sekali lagi, demi masa depan.

Saya suka ingat cerita tentang etnis tertentu yang sangat ketat dalam pengeluaran keluarga. Bila perlu makan bubur dengan menu lauk sederhana. Mereka bukan pelit, namun berhemat supaya dapat menabung. Mengapa menabung? Sekali lagi demi investasi masa depan. Anak-anaknya bisa masuk di sekolah dengan akreditasi baik. Yang kemudian mereka bisa bekerja atau bisnis dengan baik.

Bandingkan orang yang tidak perduli dengan masa depan. Sekolah anak-anaknya di sekolah yang abal-abal pun tidak masalah. Yang penting anaknya sekolah. Uang lebih banyak dihamburkan untuk makan enak, pakaian serba bagus, sosialita, kendaraan gemerlap. Sedangkan dana pendidikan anak tidak diindahkan dan disiapkan.

Orang beriman adalah orang yang sepatutnya sadar bahwa masa depan itu penting. Dan firman Tuhan di atas menyangkut hari esok. Diingatkan landasan untuk kita bisa membangun masa depan adalah penyertaan Tuhan. Tuhan hadir di hari lalu, hari ini dan hari depan. Dengan itu maka masa depan kita berada pada kebaikan Tuhan. Hanya, kita juga jangan salah mengartikan firman ini. Seolah-olah dengan penyertaan-Nya lalu otomatis semua kebutuhan kita tersedia. Ingin makan, ingin memakai baju bagus, ingin rumah yang nyaman dan indah, ingin karier baik, datang begitu saja. Kita tinggal menadahkan tangan lalu semua itu jatuh dari surga. Tentu tidak.

Orang yang berhikmat tentu tidak bersikap demikian. Yakub yang pertama kali mendapat janji itu, dia tidak lalu duduk manis. Ia bekerja. Ia mengelola ternak dan tanahnya dengan kerja keras. Janji Tuhan tentang masa depan diimbangi dengan segala perjuangan. Janji Tuhan disertai peluh dan keringat kerja keras.

Di sini, kita pun hendak menyikapi masa depan dengan hikmat. Pertama, jangan habiskan semua aset kehidupan kita hanya untuk hari ini. Kesehatan kita, keuangan kita, tenaga kita, sebaiknya dikelola dengan memperhatikan masa depan. Orang yang suka mabuk, penjudi, malas-malasan, tidak mau sekolah, melupakan pentingnya Tuhan, adalah contoh dari orang yang mengabaikan masa depan.

Kedua, masa depan yang disediakan Tuhan memacu kita tidak kuatir atas hari esok yang masih belum jelas. Kekuatiran bisa mengakibatkan seseorang merasa tidak berdaya, dan akhirnya tidak mau berbuat apa-apa. Kita bisa melihat dalam realitas, orang yang masa depannya cerah dan maju adalah tipe orang yang optimis. Artinya, Jangan jadi serba takut dengan hari esok, sekaligus jangan menakut-nakuti tentang bahaya hari esok. Sikap Optimis lebih utama daripada bersikap pesimistik.

Ketiga, jika kita merancang masa depan dan upaya keras memenuhinya, itu adalah tindakan yang sesuai dengan iman. Iman itu tidak meninabobokan kita agar menunggu berkat jatuh dari langit. Tidak. Iman itu justru menyadarkan dan membuka pikiran kita untuk mempersiapkan segala sesuatu sebaik-baiknya.

Semoga masa depan kita, anak cucu kita cerah. Tidak suram. Hidupnya tidak berantakan. Tapi mempunyai masa depan yang indah bersama Tuhan.