Oleh Pdt. Supriatno
Bahan: Lukas 15:21
Selamat pagi, bapak-ibu, Opa-oma, mas-mbak dan seluruh Saudaraku yang baik. Selamat memasuki hari baru seluruh Saudaraku yang selalu dicintai Allah. Puji syukur, Allah tetap di samping kita memasuki hari baru ini. Dan kita patut memuji nama-Nya.
Firman Tuhan hari ini, “Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. “
Lukas 15:21
Saudaraku, banyak orang, dan mungkin kita termasuk di dalamnya, takut dengan kegagalan. Kita tidak siap jika kita atau anak kita gagal. Entah itu gagal dalam studi, membina rumah tangga, mengelola usaha, mengembangkan karier. Bahkan ada yang mengatakan, “mau ditaruh di mana mukaku.” Ungkapan ini muncul pada saat kegagalan terjadi. Atau ada orang yang merasa dunia seakan-akan runtuh.
Memang, kegagalan dianggap aib. Tercela. Juga memalukan. Di Jepang ada tradisi yang masih berlaku kuat. Jika seorang pejabat merasa gagal dalam menjalankan tugas, segera yang bersangkutan mengajukan mundur dari jabatannya. Malah, ada tradisi harakiri. Mengakhiri hidup dengan sebilah pisau yang ditusukkan ke tubuh. Sebab, yang bersangkutan merasa malu sekali dengan kegagalan yang diperbuatnya.
Saudaraku, kegagalan memang dianggap tamparan terhadap harga diri. Bagi seseorang dari budaya tertentu, harga diri itu segala-galanya. Sehingga orang yang gagal itu sama dengan merendahkan martabatnya. Dan kehilangan segala-galanya.
Bagaimanakah Allah menanggapi orang gagal? Kita melihat adanya ungkapan terbuka dan terus terang si Anak Hilang. Dia mengaku bahwa dirinya tidak layak. Dia telah sangat berdosa kepada Allah dan manusia. Dalam kata telah berdosa itu mempunyai makna, bahwa dia sudah gagal. Gagal menjadi anak yang baik. Gagal memenuhi keinginan ayahnya.
Saudara, dalam hal atau pekerjaan tertentu kegagalan itu tidak boleh ada. Misalkan, merancang dan meluncurkan pesawat ulang alik ke ruang angkasa. Jelas, tidak boleh gagal. Gagal sedikit saja berarti beresiko karena pasti nantinya ada korban yang meninggal atau celaka.
Tetapi dalam perbuatan yang menyangkut iman, Allah itu teramat toleran. Pintu hati Tuhan terbuka atas ketukan orang-orang yang gagal memenuhi keinginan dan perintah-Nya. Gagal mengasihi. Gagal menjadi murid yang setia. Gagal memenuhi janji-jani yang intinya ingin menjadi murid Tuhan yang baik.
Saudaraku, Kita melihat dalam adegan kisah Anak yang Hilang itu. Bagaimana reaksi sang ayah secara spontan menyambut kepulangan anaknya yang telah pergi jauh. Dan pulang dengan memikul beban kegagalan. Sang Bapa menjamu anak yang gagal itu dengan makan enak, dan dipakaikan busana yang menggambarkan derajat sosial yang terhormat. Gambaran itu, menunjukkan di mata Allah, kepulangan yang gagal itu disambut. Mereka yang berbuat keliru ditunggu dengan pelukan hangat. Ya, diperlakukan istimewa manakala sungguh-sungguh mengakui sudah bertobat.
Saudaraku, kesediaan menyambut yang gagal menunjukkan keagungan kasih Allah. Pengampunan-Nya tidak dapat diukur, oleh sebab saking dalamnya. Bersyukurlah kita, kerap sekali kita gagal, sedangkan Allah terus membuka tangan dan hatinya menyambut kita lebar-lebar.
Jadi, Allah kita begitu besar kasih-Nya. Sungguh agung sifat pengampunan-Nya, sebab Allah tetap bersedia membuka pintu hati-Nya. Sambutan Allah atas orang berdosa dan berbalik kembali, Allah tetap membukakan pintu pengampunan. Dari sini ada ajakan bagi kita. Yaitu, pintu hati kita pun musti terbuka lebar-lebar untuk orang yang minta maaf kepada kita.
Kita berdoa, “Tuhan berilah kami hati dan kata-kata yang mau menerima dan menemani mereka yang harus mengalami kegagalan.
“Kami pun berdoa, Tuhan, ajar dan kuatkan tekad kami untuk memaafkan sesama kami, entah orang tua, saudara, keluarga, istri/suami, anak atau siapapun. Kami ingin berjalan terus di jalan Tuhan walau ada rintangan yang mencoba menghalangi.
Hari ini, perkenankan kami berlindung di bawah kasih-Mu yang menguatkan dan melegakan hati kami. Jauhkan kami dari mara bahaya dan kecelakaan. Dalam nama Yesus, Tuhan kami, kabulkanlah doa kami. Amin.