MEWUJUD NYATAKAN GEREJA YANG MISIONER

Oleh Pdt. Weinata Sairin

“Tetapi kita yang adalah orang-orang siang, baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopogkan pengharapan keselamatan”

1 Tesalonika 5:8

Kekristenan tidak lahir dan hadir dalam sebuah dunia yang kosong dan steril, dunia yang putih bersih, dunia yang tanpa apa-apa. Kekristenan lahir dalam sebuah dunia yang sudah ”menjadi”, yangnyaris established dan mapan di zamannya.

Kekristenan datang berhadapan dengan struktur budaya, politik, dan agama yang sedang tumbuh dengan pengaruh kuat di dalamnya. Itulah sebabnya kekristenan yang datang dengan konsep (teologi) baru, budaya, dan paradigma baru di berbagai bidang ditentang, dihujat, dilawan, bahkan mencapai titik kulminasi dengan mengadili Yesus secara tidak adil dan menyalibkannya. Walaupun demikian, kekristenan tidak pernah berakhir dengan
kematian Yesus. Darah Yesus dan darah para martir telah membangkitkan kekristenan dengan kekuatan dan energi baru, melahirkan Gereja-gereja yang memenuhi seluruh muka bumi. Kekuatan kekristenan yang berlandaskan Injil, euangelion, yang adalah Kabar Kesukaan dan dunamos Allah, tak bisa lagi dibendung oleh kuasa mana pun yang ada di dalam dunia.

Gereja-gereja membentuk lembaga-lembaga pekabaran Injil dan dengan semangat misioner yang amat tinggi para misionaris/pekabar Injil
menyiarkan Kabar Kesukaan itu ke seluruh dunia. Injil tidak lagi merupakan sebuah ”produk lokal” dan ”produk domestik”. Injil telah merambah kelingkup global dan dikenal secara mondial.

Hal yang amat esensial yang acap diingatkan dalam surat-surat Perjanjian Baru adalah bahwa kekristenan minimal harus mengedepankan
dua hal signifikan yaitu bahwa ia adalah Jemaat Misioner, jemaat yang dinamis dan bergerak menyongsong ”Maranatha”, dan bukan jemaat yang apatis, membisu, dan loyo berhadapan dengan tantangan zamannya; dan bahwa kita adalah komunitas kristiani yang bekerja dalam terang, atau ”orang-orang siang” yang tidak berkolaborasi dengan ”kuasa kegelapan”.

Pemahaman tentang jemaat yang misioner atau kekristenan yang misioner menjadi amat penting agar Gereja dan kekristenan tidak berhenti sebagai kekuatan yang mapan, jumud, dan terpenjara pada roh-roh dunia, tetapi sebuah kekristenan yang berbasis Kabar Kesukaan dan tetap menjadi kekristenan yang energik, yang bersaksi, yang memberi pengharapan masa
depan bagi peradaban manusia.

Pada tahun 1970-an, Pdt. Dick Rudolf Maitimoe (GPIB) melakukan program pembinaan tentang membangun jemaat misioner dalam konteks Indonesia yang majemuk. Kata ”misioner” dalam konteks Gereja-gereja di Indonesia memberikan daya dorong kuat untuk mewartakan berita Injil di tengah medan yang amat sulit. Kita tidak boleh alergi dengan diksi “misioner”, seolah kata itu buatan para penjajah dan berkonotasi penaklukan satu terhadap yang lain. Istilah itu penuh dengan power, dunamos, semangat untuk memberitakan Injil yang di zaman now agaknya makin redup.

Surat Paulus kepada Jemaat Tesalonika sebagaimana dikutip di atas memberi lesson learn cerdas dan menyadarkan bahwa kita adalah ”orang-orang siang”, bukan ”orang-orang malam yang bersekutu dengan kuasa gelap” dengan baju zirah (baju tembaga), yaitu iman dan kasih, disertai dengan ketopong (helm pelindung kepala), yaitu pengharapan keselamatan.

Metafora ”baju zirah” dan ”ketopong” sengaja digunakan Paulus untuk menegaskan bahwa iman, kasih dan keselamatan sudah menjadi bagian (built in) dari kedirian kita. Dengan baju zirah dan ketopong kita terbebas dari kontaminasi roh-roh dunia. Sebab itu, kita akan mampu mewujudnyatakan kekristenan yang misioner, di kekinian sejarah.

Mari terus secara kreatif mencari bentuk-bentuk baru mewartakan Injil dalam era milenial. Gereja takboleh diam dan bisu. Gereja yang tidak punya hasrat mengabarkan Injil, ia kehilangan hakikatnya sebagai Gereja.

Beberapa tahun yang lalu seorang tokoh oikoumenis: Dr. SAE Nababan berdiskusi secara khusus dengan saya di kantor PGI bagaimana cara terbaik mengembangkan pekabaran injil di Jawa bagian Barat. Beliau bahkan akan mengajak Gereja-gereja lain dan mengupayakan dana untuk program itu. Melihat keseriusan Dr Nababan maka saya meminta pimpinan Gereja saya untuk menindaklanjuti hal tersebut dengan melibatkan beberapa orang di level pimpinan. Beberapa bulan kemudian Dr Nababan menjenguk saya tatkala saya dirawat di RS PGI Cikini. Saat itu beliau memberitahu bahwa program pekabaran injil di Jawa Barat, sebagaimana yang pernah kami diskusikan belum bisa terwujud. Jujur, saya merasa malu dan terpukul dengan realitas itu. Dan secara pribadi saya salut kepada tokoh sekaliber Dr Nababan yang tetap bersemangat tinggi mewartakan Injil.

Gereja-gereja tidak boleh terpenjara oleh Covid 19, Gereja-gereja harus tetap punya agenda untuk mengabarkan Injil!

Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless!