Allah Mencari Yang Hilang
Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Udara pagi yang segar telah kita hirup dan Tuhan telah menemani kita melalui malam dan kita menikmati istirahat dengan selamat. Puji Tuhan. Bahan refleksi harian: Kejadian 3:7-8.
Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. (8) Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman.
Kejadian 3:7-8
Saudaraku, coba perhatikan saat pihak polisi melakukan konferensi pers berkaitan dengan kasus kejahatan tertentu. Lalu dalam acara itu dihadirkan orang-orang yang dianggap para tersangkanya, dipastikan wajah para mereka disamarkan. Ditutup kerudung hitam, sehingga kita tidak bisa mengenali dan mengidentifikasi siapa sebenarnya tersangka itu. Nama pun cuma disebutkan inisialnya saja. Itu merupakan kode etik agar pihak tersangka tidak dipermalukan. Sedangkan proses peradilan belum membuktikan para tersangka bersalah. Untuk melindungi rasa malu, wajahlah yang selalu ditutupi.
Sebelum melanggar perintah Tuhan, Adam dan Hawa hidup dalam di taman Eden. Relasi antar mereka baik, demikian juga hubungan mereka dengan Allah mesra. Tapi, apa yang terjadi, setelah ular berhasil mengelabui mereka? Dan Adam dan Hawa sama-sama memakan buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat. Seketika juga mengubah seluruh suasana dan nasib kehidupan mereka. Sekaligus runtuhlah relasi harmoni yang terbangun selama ini.
Sedangkan gantinya adalah, sebuah perilaku yang saling menyalahkan di antara Adam, Hawa dan Ular. Tiap pihak tidak ada yang mengakui kesalahan dirinya. Selain itu, pelanggaran itu melahirkan rasa malu dan takut pada Adam dan Hawa. Takut dan malu atas keberadaan Allah. Mereka menutupi ketelanjangan tubuh mereka. Dalam diri mereka dibalut ketakutan berjumpa dengan Tuhan. Mereka menghindar dan bersembunyi.
Saudaraku, setiap orang pasti pernah berbuat salah. Namun jangan karena malu dan takut, lari dan bersembunyi dari Tuhan. Hal itu memperburuk keadaan. Ada banyak contoh, karena pelanggaran yang dilakukannya kemudian didorong rasa malu meninggalkan Allah dan persekutuan. Kita mengerti perasaan malu demikian. Namun, bukan jalan keluar dari permasalahan. Bukan way out.
Justru yang paling tepat adalah datang, mengaku dan memohon kekuatan agar dimampukan tidak melakukan kesalahan ulang. Malu dan takut bukan alasan tepat meninggalkan Allah. Semakin jauh dari Allah semakin terpuruk dan terbawa gelombang kehidupan yang membinasakan.
Berbuat salah itu berdampak pada rasa malu dan takut, ya. Para murid Tuhan ketika Tuhan Yesus disalib mereka sebagian besar gagal menemani. Semua mengurus nasibnya sendiri-sendiri. Simon Petruspun mengalami kegagalan.
Tapi, tidak boleh makin sembunyi. Karena Allah kita juga adalah Allah yang mencari yang hilang. Ia mengumpulkan mereka kembali. Merangkul dan mengasihinya satu-persatu. Dia bangkit dan yang mengobati kekecewaan dan rasa malu murid-Nya. Ia Menghibur yang patah hatinya.
Kita berdoa, Tuhan, ajar dan kuatkan tekad untuk membahagiakan sesama kami, entah orang tua, saudara, anak, pasangan hidup atau siapapun, berjalan terus walau ada rintangan yang mencoba menghalangi.
Kami membawa kepada-Mu, saudara-saudara kami yang sakit dan memerlukan Engkau berkenan berada di samping mereka.
Hari ini, perkenankan kami untuk mencecap kasih-Mu yang menguatkan dan melegakan hati kami. Jauhkan kami dari mara bahaya dan kecelakaan. Gada-Mu dan tongkat-Mu melindungi kami, khususnya saudara-saudara kami di NTT. Mereka tengah berjuang untuk survive.
Dalam nama Yesus, Tuhan kami, kabulkanlah dia kami. Amin.
Oleh Pdt. Supriatno