Oleh Pdt. Supriatno
Selamat pagi, ibu-bapak, mbak-mas, oma-opa dan Saudara-saudaraku yang baik. Semoga pagi ini, kita menghirup udara hari baru seraya mengucap syukur kepada Allah. Sebab, karena Dia-lah, kita dan keluarga kita masih diberi umur kehidupan.
Firman Tuhan yang hendak kita renungkan adalah ”Terkutuklah orang yang menggeser batas tanah sesamanya manusia. Dan seluruh bangsa itu haruslah berkata: Amin! “ Ulangan 27:17
Saudaraku, dalam diri manusia terdapat naluri hasrat mempunyai lebih. Hal ini didorong oleh kesadaran dan pengalaman bahwa kekurangan itu membawa akibat kesusahan. Kurang uang. Kurang sehat. Kurang perhatian. Kurang makan. Kurang iman. Kekurangan berdampak buruk bagi kehidupan manusia, baik fisik kejiwaan, maupun spiritualitas. Tidak heran, godaan yang musti dihadapi manusia adalah menginginkan kelebihan. Apalagi kelebihan yang bersifat materi. Seakan-akan ada perasaan puas dan tenang jika hidup dalam kelebihan.
Tuhan yang menuntun Abraham, Ishak, Yakub dalam perjalanan mereka, ternyata melimpahi mereka dengan materi. Tanah yang luas, hewan ternak yang lebih dari cukup. Sehingga mereka mengelolanya membutuhkan budak-budak. Tidak heran, Alkitab juga menggambarkan sosok Abram sebagai hartawan. Kejadian 13:2, mencatat, “Adapun Abram sangat kaya, banyak ternak, perak dan emasnya.” Begitu pula Ayub, tidak kalah fantastik kekayaannya. Dia memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, tiga ribu ekor unta, lima ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina dan budak-budak dalam jumlah yang sangat besar…”
Saudaraku, naluri ingin mempunyai lebih ternyata harus dikontrol. Sebab, jika tidak dikontrol, naluri itu bisa menjadi keserakahan. Tidak pernah merasa puas. Ingin lagi, ingin lagi. Bagaikan orang haus meminum air laut, makin bertambah rasa hausnya. Akibat lebih lanjut, dan ini buruk, adalah ingin mengambil dan menguasai milik orang lain. Firman Tuhan di atas yang bersifat peringatan keras agar tidak menggeser batas tanah merupakan fungsi kontrol keserakahan.
Di jaman kita yang modern, kepemilikan tanah ditandai dengan sertifikat. Secarik kertas yang menunjuk legalitas kepemilikan. Di jaman itu, lain. Belum dikenal sertifikat tanah. Kepemilikan tanah hanya ditandai secara tradisional. Batu atau pohon jadi penanda batas kepemilikan tanah.
Konsekwensinya, betapa mudahnya seorang berniat buruk mengambil tanah bukan miliknya dengan menggeser batas tanah. Orang Israel tidak boleh melakukan itu. Karena itu, seluruh unsur bangsa mendukungnya dengan menyatakan “amin”. Sebuah eskpresi ikatan moral yang disetujui. Dengan pernyataan “amin” yang mengikat secara moral bahkan spiritual itu, maka menguasai tanah bukan miliknya digolongkan perbuatan terkutuk. Barang siapa melanggar menghadapi sangsi berat. Yakni hidupnya kelak menderita.
Saudaraku, salah satu kisah lawas yang memberi pesan moral yaitu tentang raja Midas. Seorang raja yang ingin hidupnya sudah berlimpah, tapi masih ingin makin berlimpah. Ia punya kemampuan, setiap tangannya menyentuh sesuatu, otomatis benda yang disentuhnya menjadi emas.
Tentu dia senang dan bangga. Dengan kemampuan itu, ia berlimpah harta. Sebab emas ada di mana-mana. Pintu terbuat dari emas. Kursi dari emas. Segala benda di istananya berwarna kuning kemilau sebab terbuat dari emas. Sampai suatu hari, anaknya kangen ingin dipeluk ayahnya, raja Midas. Sang raja pun punya kerinduan sama. Ia pun rindu memeluk anaknya. Anaknya berlari ke arah raja. Segera raja membentangkan tangannya. Jatuhlah anak itu dalam pelukan ayahnya. Seketika itu juga, anak raja Midas berubah jadi emas. Betapa sedih dan menyesallah sang raja.
Demikian, orang yang selalu berlebih tapi tidak mengontrolnya. Akibatnya kesusahan dan penderitaan yang datang, bukan suka cita dan kebahagiaan. Keserakahan adalah racun kehidupan bukan madu yang memberi manisnya kehidupan.
Keserakahan atau kerakusan bukan hal sepele. Melainkan penyakit moral dan spiritual. Namanya penyakit maka membahayakan kehidupan manusia kini dan nanti. Sedangkan bagi pelanggarnya sendiri mengalami hidup yang berat dan berimbas ke lingkungan lebih luas. Publik pun dirugikan.
Di tengah dunia menghadapi virus corona, tidak sedikit orang yang dijangkiti penyakit keserakahan dan kerakusan. Kesulitan menjadi peluang menimbun barang. Atau orang yang panik membeli sampai lupa orang lain punya kebutuhan sama. Syukurlah, saya melihat karakter mulia orang Indonesia yang mau berbagi. Para ojol ( ojek online) berkisah pengalaman betapa baiknya orang-orang kita. Pelanggannya meminta dibelikan makanan atau barang-barang konsumsi. Setelah dibelikan, justru disumbangkan bagi para ojol itu bukan buat pelanggannya.
Ada banyak kisah lain mencuat bersifat dan berbentuk berbagi. Keserakahan tereliminasi oleh sikap simpati. Kerakusan terkurangi karena sikap empati. Melihat itu, terlebih melakukan itu, dakam kesulitan seberat sekarang ini, kita masih berjalan dengan harapan. Ya, pasti tetap penuh pengharapan.