Allah Sumber Pengharapan

Oleh Pdt. Supriatno

Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Istirahat malam telah kita jalani, hari baru kita masuki. Pertolongan Allah tetap bersama kita, sehingga kita masih mengecap kehidupan yang terlindungi. Puji syukur kepada Allah akan hal ini.

Firman Tuhan yang menuntun kita memasuki hari baru, diambil dari Mazmur 13:2-3, “Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari?”

Saudaraku. Problem besar manusia kini adalah tentang virus corona. Virus yang tidak kasat mata, namun berbahaya. Sungguh, di hadapan virus ini semua orang sama, berpotensi terinfeksi. Pejabat maupun rakyat jelata. Orang terkenal ataupun orang biasa saja. Termasuk tokoh agama dan penganut agama apapun yang dianutnya. Tidak pandang bulu. Oleh karena itu, kita semua harus berhati-hati jangan terpapar.

Virus ini makin berbahaya lagi lantaran penyebarannya yang cepat dan mendunia. Kini hampir setiap negara tidak bisa menolak kehadirannya. Sementara itu, meski ada korban yang bisa sembuh, pada kenyataannya belum ditemukan obat penangkalnya. Oleh karena itu, bagi korban terpapar virus ini begitu kena seakan melihat bayangan kematian sudah di depan pelupuk mata.

Ada dua sikap yang merespon situasi aktual ini. Pertama, menganggapnya fenomena biasa. Virus itu dianggap hal lazim karena di semesta ini virus-virus gentayangan. Sikap ini cenderung meremehkan, tak heran muncul ungkapan “ takut amat”. Bagi orang yang menyikapi situasi ini dengan enteng, maka saran dan imbauan yang jelas-jelas dilandasi dasar pengetahuan medis diabaikan. “Takut amat sampai tidak salaman”, “Takut amat sampai tidak cipika cipiki”. “ Takut amat bepergian”. Buat orang seperti itu, situasi kini dinilai berjalan biasa saja “ business as usual”. Apalagi ditambahi dengan kata-kata ‘saleh’, “ jika Tuhan mau kita mati, tidak ada virus ini juga akan mati. Orang beriman koq takut amat

Sikap kedua, orang yang menyikapi situasi ini dengan suasana takut berlebihan. Panik. Dengan sigap pergi ke mall atau toko. Borong makanan, borong masker, borong sanitizer. Seolah-olah jika tidak memborong esok kebutuhan hidup akan tak terpenuhi. Orang seperti ini menyikapi situasi ini dengan “amat takut”. Bahkan cenderung parno, paranoid, virus rasa takut yang akut. Benak, emosi dan batinnya lebih didominasi imaginasi buruk. Orang yang demikian, mengkarantina dirinya sendiri secara berlebih. Virus seakan-akan serba ada di mana pun, disamakan laksana Tuhan ada di mana-mana.

Saudaraku, berkali- kali pemazmur dalam firman di atas menanyakan berulang-ulang kepada Tuhan dengan ucapan “ berapa lama lagi?”. Ada nada kegundahan. Menurut penafsir kitab Mazmur, memang Pemazmur sedang dilanda rasa takut. Dia takut meninggal dunia. Dia tengah bergumul apakah harapannya berakhir sia-sia. Ia tengah menanti-nantikan pertolongan Tuhan. Dan sebagai manusia ia tidak tahan terus menunggu dalam ketidak pastian.

Seorang ahli teologi, Choa Seng Song menyatakan bahwa kehidupan umat beragama bergerak di antara rasa takut yang mencekam dan harapan (agony and hope). Seperti kita lihat pada diri pemazmur tengah dicekam rasa takut. Takut karena masuk dalam wilayah ketidakpastian. Apakah ia akan sembuh dan terhindar dari kematian atau tidak? Ia telah menanti sekian lama seakan pertanyaan tak berjawab. Saudara, ketidakpastian selalu membuahkan hati yang kuatir. Kekuatiran selalu menghalangi selalu menghalangi untuk melangkah. Hati seperti itulah yang bergejolak pada diri pemazmur.

Saudaraku, menanti-nantikan pertolongan hingga empat kali ia menanyakan “berapa lama lagi Tuhan?”. Sekali lagi, menurut merujuk pandangan penafsir kitab Mazmur, sang pemazmur tengah menderita sakit parah. Ia takut meninggal dunia. Namun, di balik ketakutan itu ia meminta kepada Allah, karena hanya pada Allah satu-satunya tersimpan harapan. Saudara, di sini kita melihat di tengah kerapuhannya, ia menoleh pada Allah yang tetap menjadi sumber harapan. Hanya Allah saja alamat yang tepat untuk meminta mengatasi ketakutan dan kekuatirannya.

Di sinilah, di saat virus merebak dan kekuatiran bergerak dengan cepat menguasai kita secara pribadi. Bagi siapapun yang merasakan ancaman nyata virus korona, memang kuatir, takut dan cemas. Tampak, pemazmur jujur dengan dirinya. Ia memang takut atas ancaman kematian. Ia tidak pura-pura berani. Meski demikian, bukan berarti kehilangan harapan. Di saat kelemahanlah ia merasa kuat di dalam Allah.

Saudaraku, bagian dari kerapuhan manusia adalah ketakutan. Kita belum bebas dari kerapuhan maka kita pun belum bebas dari ketakutan, kecemasan dan kekuatiran yang terus menguntit kita. Inilah potret riil kita. Kita bisa memakai topeng menutupi ketakutan kita. Termasuk topeng berupa kata-kata ‘saleh’. Namun, hati, emosi dan pikiran kita tidak bisa berbohong bahwa ketakutan ada. Lalu, bagaimana? Apa langkah kita, terutama ketika berhadapan dengan fenomena virus korona?

Ada bagian lain dari Mazmur 13, yang perlu kita kutip, yaitu “kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.” Ya, Pemazmur lega dan bersuka cita. Ia tidak tenggelam dalam keputus asaan. Di sini digambarkan Allah datang menyelamatkannya. Pengharapan kepada Allah berujung pada suka cita. Ia ekspresikan dengan bersorak sorai.

Saudaraku, apakah kini kita takut. Terus-terang, dalam kerapuhan manusia saya takut melihat realitas sekarang. Tapi, kita harus tetap kuat dan berpengharapan bahwa Allah mendengar suara ketakutan kita. Ada ketegangan antara takut dan harapan. Namun, kita bersyukur Allah kita Maha Mendengar. Apapun yang Dia berikan baik, baik, dan baik adanya. Dan itu yang jadi Mata air pengharapan kita. Jangan panik atau bersikap pura-pura berani, akhirnya bersikap gegabah. Semoga Tuhan menolong kita dan semua insan ciptaan-Nya.