Oleh Pdt. Supriatno
Selamat pagi, seluruh Saudara-saudaraku yang baik di dalam Tuhan Yesus. Salah satu keindahan hidup bersama Tuhan adalah kehadiran-Nya yang tak pernah putus. Bagaikan cincin tak berujung, demikian karunia kehadiran-Nya atas kita. Patutlah kita mengucap syukur dan berterima kasih kepada-Nya.
Firman Allah yang menyapa kita dari Matius 8: 2-3, “Maka datanglah seorang yang sakit kusta kepada-Nya, lalu sujud menyembah Dia dan berkata: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.” Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga tahirlah orang itu dari pada kustanya.”
Saudaraku, sakit adalah kondisi yang tidak diharapkan. Ia menjadi beban bagi siapapun. Beban finansial sebab harus menguras kantung agar tubuh pulih kembali. Biaya pengobatan merupakan salah satu pengeluaran yang berat, apalagi sakitnya disebabkan penyakit tertentu. Pernah ada ungkapan untuk menggambarkan beratnya beban finansial, “orang miskin tidak boleh sakit”. Tidak cukup di situ, sakit pun melahirkan beban sosial. Ketika tubuh terbaring tidak berdaya, apalagi harus dirawat di rumah sakit, keluarga pun ikut repot. Mereka mau tidak mau mengalokasikan waktu dan perhatian untuk mendampingi. Mulai dari cari rumah sakit sampai menemani dalam perawatan. Bagi yang punya pengalaman, akan mengatakan bahwa mendampingi orang sakit butuh kesabaran dan stamina ekstra.
Sakit juga mencakup beban bersifat keagamaan. Ada orang yang sakit malah bertambah sakit. Mengapa? Karena ditambah beban penilaian dan penghakiman. Si sakit diposisikan telah menyimpang dari norma agama. Dalam dirinya dinilai ada yang tidak beres dengan Tuhan. Sakit menjadi bukti kelihatan pelanggaran seseorang atas Tuhannya. Selain itu, sakit tambah sakit karena perlakuan atasnya ‘dibedakan’. Lantaran jenis sakitnya maka pihak yang sakit menerima perlakuan kurang manusiawi.
Saudara, pada jaman Tuhan Yesus hadir di Israel waktu itu, orang yang sakit kusta itulah orang yang menanggung beban berlapis-lapis. Berbagai jenis beban ditumpukkan pada pundak orang sakit kusta. Secara agamawi orang kusta dianggap najis. Karena itu, orang tidak mau bersentuhan dengan penyandang kusta. Jabat tangan mana mungkin. Si sakit pun dilarang keras menyentuh orang lain. Waktu itu, orang kusta hidup berkoloni artinya bersama dengan sesama penderita dan mereka tinggal di pinggir kota. Terisolasi dan nir komunikasi. Pergi ke Yerusalem dan kota-kota lain, sebuah kemustahilan.
Penderita sakit kusta, masih hidup tapi diperlakukan seolah-olah sudah mati. Beban ini dipikul dengan tanpa harapan sembuh. Sebab memang belum ada obat yang bisa menyembuhkan. Untuk itu, orang kusta bisa bertemu Tuhan Yesus merupakan momen langka. Dan momen mengalami transformasi, dalam arti kesempatan berubah. Perubahan nasib dan jalan hidup.
Saudaraku, dengan rendah hati penyandang sakit kusta dalam firman ini mengajukan permohonan kepada Tuhan Yesus, “Tuan, jika tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku?” Bisa jadi bibirnya bergetar. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan emosinya cukup nervous. Sebab, bagaimanapun permohonan ini menjadi titik awal perubahan dirinya. Perasaan bercampur aduk menantikan jawaban Tuhan Yesus. Dan ketika yang didengarnya adalah, “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Dialog singkat. Tapi, mengubah sepanjang hidup seseorang, khususnya mantan orang kusta itu.
Saudara, perjumpaan itu selalu mengubah, dengan siapapun dan apapun. Hidup Saudara menjadi lain karena bertemu pasangan Anda. Mungkin ajan berbeda jika bertemu dengan pasangan lain. Betapa beruntungnya, setiap orang bertemu atau berjumpa dengan Tuhan Yesus. Karena ada transformasi atau perubahan diri. Dalam Alkitab contohnya begitu banyak dan kaya. Zakeus, sang pemungut cukai. Bukankah berubah menjadi pemurah hati dan berubah orientasi hidupnya lantaran berjumpa Tuhan Yesus? Perjumpaan bukan sekedar bertemu secara fisik tapi ada transfer nilai, pelajaran, sehingga melahirkan inspirasi yang mengubah kehidupan seseorang. Apalagi berjumpa dengan Tuhan Yesus, banyak hal yang kita serap dan peroleh yang menuntun jalan hidup kita berubah. Kita dibaharui. Jika seseorang sudah sekian lama berjumpa dan bahkan bergaul intens dengan Tuhan Yesus, ternyata tidak berubah. Apa kata dunia?