Oleh Pdt. Hariman A. Pattianakotta
Virus Covid 19 membuat banyak pihak menjadi kikuk. Pola relasi yang selama ini berlangsung tiba-tiba berubah. Aktivitas yang mengumpulkan orang banyak tidak dianjurkan, bahkan dilarang untuk dilakukan. Setiap orang diajak untuk mewujudkan solidaritas dengan berjarak secara sosial. Pilihan dan keputusan ini sudah pasti tidak menyenangkan, tetapi penting untuk keselamatan bersama.
Hari Minggu kemarin saya masih sempat memimpin ibadat Minggu. Kita yang terbiasa salaman dengan berpegangan tangan, bahkan cipika-cipiki, tetiba dilakukan dengan cara lain dengan jarak tertentu. Cukup dengan menempelkan kedua tangan di dada sembari membungkukkan kepala. Saya sendiri menjadi kikuk dengan cara tersebut, namun itulah cara terbaik dalam situasi darurat sekarang ini.
Beberapa jemaat dari gereja tertentu bahkan “meliburkan” kegiatan ibadat bersama, termasuk ibadat Minggu. Ibadat-ibadat dianjurkan untuk dilakukan di rumah masing-masing. Pemimpin Jemaat tetap mempersiapkan renungan dan disiarkan melalui media sosial yang ada. Dalam kondisi pandemik seperti ini, cara tersebut bisa dimaklumi. Bahkan, hemat saya, layak dan harus dilakukan.
Ada beberapa alasan teologis untuk hal itu. Pertama, agama ada untuk manusia, bukan manusia untuk agama. Gereja ada untuk melayani dan menempatkan keselamatan umat manusia sebagai prioritas utama. Demi keselamatan umat manusia dan alam semesta itulah, Yesus Kristus datang ke dalam dunia ini. Demikian juga dengan Roh Kudus yang diutus untuk memelihara dunia dan menuntunnya pada kesempurnaan keselamatan di parousia. Jadi, gereja yang mengaku percaya kepada Allah Tritunggal sudah seharusnya menempatkan keselamatan umat manusia sebagai keutamaan.
Kedua, secara seteriologis, keselamatan itu bukan hanya urusan nanti, tetapi soal sekarang. Hidup sehat lahir dan batin di sini adalah bagian dari perayaan keselamatan di dunia sekarang ini. Tanpa kesehatan, manusia akan sakit dan mati. Lantas, kalau sudah demikian maka tidak ada lagi karya yang bisa dilakukan di dunia sekarang ini. Jadi, panggilan menjaga kesehatan adalah bagian penting dari kehidupan. Bahkan, Alkitab menyebutkan bahwa tubuh kita adalah bait Allah. Maka, tubuh harus dijaga dan dirawat, agar dapat dipersembahkan sebagai ibadat yang sejati. Dengan demikian, menjaga kesehatan adalah juga bagian dari ibadat, sehingga kalau kita menutup ibadat bersama dan melakukannya untuk sementara di rumah masing-masing demi kesehatan tubuh kita, hal tersebut adalah hal yang benar dan tepat.
Ketiga, ketika kita beribadat di rumah masing-masing, hal itu tidak mengurangi esensi dan makna dari ibadat kepada Allah Tritunggal. Yesus Kristus sendiri berkata bahwa “dua atau tiga orang yang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”. Jadi, jika kita beribadat di rumah dalam kondisi darurat, ibadat kita itu tetap sah secara teologis dan tidak mengurangi makna ibadat barang sedikitpun. Tuhan tetap hadir di situ, dan Ia memberkati kita sama seperti kita beribadat di gedung-gedung gereja secara bersama.
Momentum Iman Bersama Keluarga
Selain itu, secara praktis, ibadat bersama anggota keluarga di rumah menjadi momentum yang penting dalam rangka kita mengakrapkan kembali relasi kekeluargaan kita. Bagi keluarga yang tinggal di kota-kota besar, yang selalu sibuk sehingga waktu bersama keluarga menjadi barang langka, inilah waktu yang tepat untuk beribadat bersama. Kita punya kesempatan di masa yang tidak nyaman ini untuk kembali menyamankan hubungan sebagai orang tua-anak ataupun suami-istri dalam rengkuhan kasih Tuhan. Syukur-syukur, momen ini bisa membuat mata kita terbuka untuk menyadari bahwa pasangan atau anak kita kapan saja bisa mati; bisa hari ini ataupun besok, sehingga kita akan semakin saling mencintai dan memanfaatkan waktu hidup yang ada dengan penuh dedikasih dan tanggung-jawab.
Jika kita menilik sejarah gereja di masa awal, mereka juga lebih sering berkumpul di rumah masing-masing. Konsep “gereja rumah” memang selalu datang dari situasi-situasi yang tidak menyenangkan seperti ini. Dahulu kekristenan dilarang bahkan diserang oleh otoritas pemerintah Romawi, juga oleh pemimpin-pemimpin agama yang mapan di kala itu. Namun, hal tersebut tidak membuat kekristenan mati. Sebaliknya, kekristenan tumbuh secara vital dan menarik, sehingga ia bertambah-tambah dalam kualitas dan kuantitas. Lalu, kalau hari ini kita “dirumahkan” oleh Corona, saya kira hal itu bisa menjadi momentum untuk kita melakukan revitalisasi iman, pengharapan, dan kasih kita. Dan hal itu bisa dimulai dari rumah kita masing-masing.
Jadi, kalau kita merumahkan aktivitas ibadat yang biasanya kita lakukan secara kolektif di rumah-rumah ibadat karena situasi darurat ini, maka sebetulnya tidak ada yang salah. Juga bukan karena kita tidak atau kurang beriman. Iman itu bukan fatalisme yang sembrono.
Memang, ada juga yang masih bertanya “Tapi, bagaimana dengan perjamuan kudus? Bagaimana dengan penahbisan atau peneguhan Majelis atau komisi-komisi? Bagaimana dengan sidi? Bukankah ini momen-momen khusus gerejawi?”
Kembali kepada pemikiran-pemikiran mendasar di atas. Agama, gereja, organisasi, peraturan, ritual, semua itu untuk manusia. Jangan dibalik! Semua masih bisa dilakukan nanti. Gereja belum berakhir hanya karena kegiatan-kegiatan bersama “diliburkan” dua atau tiga Minggu, tergantung situasi dan kondisi. Persembahannya berkurang, ia, mungkin. Tetapi masa yang dipikirkan adalah persembahan? Bisa saja itu yang dipikirkan orang tertentu, tetapi pasti karena Tuhannya Mamon, bukan Allah Tritunggal.
Tetaplah beriman, terus waspada alias hidup dengan hikmat, jaga kesehatan, dan mari berdoa semoga pandemi Corono ini cepat berlalu.
Tuhan memberkati kita! Amin.
(Penulis adalah Pendeta UK. Maranatha, dari GKP; Wakil Ketua Umum DPD PIKI Jabar)