Oleh Pdt. Supriatno
Selamat pagi, bapak-ibu dan Saudara-saudaraku yang baik. Istirahat merupakan kebutuhan utama, sedangkan tidur malam menjadi bagian yang perlu dilakukan. Darinya organ-organ tubuh, suasana hati, kualitas emosi dan pikiran kita memperoleh penyegaran. Terpujilah Allah yang mengaruniakan kita tidur malam.
Saudara-saudaraku, Firman Tuhan yang menguatkan kita melakukan aktivitas kita diambil dari Mazmur 23:4, “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya”
Saudaraku, salah satu yang realitas yang dihadapi manusia adalah kematian. Sosoknya selalu dihindari. Secara iman kita tahu kematian tidak bisa dihindari jika saatnya telah tiba. Sekaligus orang beriman dan beragama meyakini bahwa kematian merupakan fase untuk masuk ‘dunia’ lain yang lebih baik. Meskipun demikian, pada umumnya manusia menghindar dari kematian. Tidak usah dengan bahasa yang sulit dan penuh taburan kata-kata, jika ada orang menawarkan, “jika demikian maukah kamu mati?”. Tawaran dan pertanyaan ini menjadi hal yang amat sulit dijawab. Tentu, lebih banyak orang menggeleng kepala.
Mazmur 23 secara keseluruhan menggambarkan Allah sebagai Gembala. Sedangkan Pemazmur memposisikan dirinya selaku domba. Yang satu hakikatnya memberi dan yang lain menerima. Hakikat Allah yaitu Dia selalu memberi, tidak pernah berubah, dulu, kini dan nanti. Sementara itu, manusia di hadapan Allah, dirinya sebagai domba yang sifat hakikinya menerima. Pemazmur menggambarkan Allah sebagai Gembala yang membawa dombanya dapat berbaring di padang hijau dan membimbing ke air yang tenang. Rumput untuk dimakan dan air untuk diminum. Sebuah keadaan aman dan nyaman. Suasana ideal diberikan Gembala atas domba-Nya. Pemberian terbaik yang dilengkapi Allah buat kita. Kita patut bersyukur atas itu dan memuji tindakan Allah.
Pemazmur tidak hanya membatasi tindakan Gembala semata-mata pada ketersediaan dan kelimpahan makan dan minum. Gembala yang baik itu, pun menuntun di jalan yang benar. Kekeliruan menempuh rute yang diambil bisa membawa ke arah yang salah. Allah tidak menginginkan kita berjalan pada pilihan rute yang membuat kita tersesat. Sebagai Gembala, Ia menuntun kita ke tujuan yang baik. Pilihan manusia bisa salah. Kalkulasi manusia bisa keliru. Di situlah Gembala menggiring domba-Nya dengan pilihan arah yang tepat.
Saudaraku, kita tiba pada bagian perenungan kita. Setelah Allah sebagai Gembala mengantar pada realitas yang nyaman dan aman. Kini, bukankah dalam hidup ini kita diperhadapkan dengan hal yang pelik. Yang tidak gampang diurai untuk diatasi. Tidak gampang dilewati. Kita diperhadapkan dengan hal yang sulit. Karena situasinya yang tak mudah dijalani. Dalam konteks Pemazmur dibahasakan “lembah kekelaman”. Atau lembah bayang-bayang kematian (the valley of the shadow of the death). Suatu keadaan yang teramat gelap dan amat jarang dilewati. Bagi siapa yang berjalan di sana, ia tengah dibayang-bayangi maut. Orang yang berjalan di lembah kekelaman, berarti yang bersangkutan harus mempertaruhkan keselamatan dirinya. Nyawanya berada di bibir jurang. Salah melangkah ajal menjemputnya.
Lembah kekelaman menjadi rute yang teramat ditakuti untuk dilewati. Bagi siapapun yang menjajal rute itu, maka potensi untuk tersesat, jatuh dan mati merupakan keniscayaan. Saudaraku, dalam realitas mencekam dan genting yang harus dilewati domba itu. Pemazmur bicara tentang keyakinan dirinya. Bahwa dirinya dengan ketetapan hati menyatakan tidak takut. Lembah kekelaman tidak menyebabkan ia terpuruk pada kecemasan. Ia tidak gentar. Tidak takut selama Gembala itu menyertainya. Dengan kata lain, sikapnya tidak akan seteguh itu dan kepercayaannya akan luruh. Bila ia berjalan tanpa disertai Allah yang adalah Gembalanya.
Saudaraku, kembali kita berbicara tentang kematian. Maut. Secara halus (implisit) kita dapat mendengar getaran ketakutan Pemazmur, bila harus melewati rute paling gelap gulita dalam perjalanan hidupnya. Rute yang berpotensi mengancam keselamatan dirinya. Tapi, dengan gamblang (eksplisit) menyatakan, seberbahaya apapun jalan yang harus ditempuh, dia tidak takut bahaya. Sekali lagi harus dikatakan, tidak takut bahaya. Mengapa? Sebab Allah besertanya. Allah yang membuat mantap hatinya melewati rute yang menakutkan sekalipun.
Saudaraku, siapa yang tidak takut dengan situasi kini? Dunia tengah diguncang makhluk tak terlihat dan tak teraba tapi terasa ‘sengatannya’. Makhluk yang bernama Covid 19 itu jelas melahirkan kegentaran. Bahkan kepanikan menjadi fenomena di mana-mana. Penguasa cemas. Rakyat was-was. Ilmuwan memeras otak berpacu waktu untuk menemukan penangkalnya. Di sinilah, kita meresapkan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa agar membiarkan Tuhan menuntun kita. Tuntunan yang membawa kita berpikir jernih. Tuntunan yang membuat kita menetapkan pilihan yang tepat. Dan yang utama, kita dituntun Allah Sang Penguasa Kehidupan. Yang punya otoritas tertinggi yang menentukan mati dan hidupnya kita. Sekaligus, yang menentukan mati dan hidupnya virus Covid 19 yang menggentarkan itu. Mari, dengan hati yang tetap, kita daraskan dalam diri, “ Aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.”