Bagi Tuhan Tidak Ada Yang Mustahil

Oleh Pdt. Stefanus N. Parinussa

Beberapa waktu lalu sebelum PSBB diberlakukan, saya mendengar dua orang ojol (ojek online) yang sedang mengobrol. Ojol pertama berkata: “seharian muter-muter cuma dapat 3 penumpang, gimana bayar cicilan motor ini..?”. Ojol kedua berkata: “saya malah baru dapat 2 penumpang, tapi ya disyukurilah, Allah pasti memberi rejeki..”. Obrolan seperti itu mungkin sering kita dengar atau mungkin kita yang terlibat dalam percakapan itu. Kita mengeluhkan tentang kekurangan, ketidakidealan dan sebagainya.

Dalam situasi dan kondisi saat ini banyak orang-orang yang mengeluhkan banyaknya pengeluaran yang tidak sebanding dengan pemasukan. Apalagi mereka yang bekerja secara harian dan bergantung dengan pendapatan harian seperti ojol, opang (ojek pangkalan), pedagang kecil, buruh bangunan dan sebagainya. Dalam sebuah acara di televisi, seorang ojol berkata bahwa dirinya ingin ikut saran pemerintah untuk isolasi di rumah bersama keluarga, tetapi kalau ia tidak keluar rumah bagaimana isteri dan anak-anak mereka bisa makan?

Bagaimana dengan saudara? Kita pun mungkin mengalami hal yang sama. Pemberlakuan social distancing dan work from home sedikit banyak berdampak terhadap kita termasuk perekonomian keluarga.

Dalam pembacaan Alkitab saat ini, kita melihat bagaimana Tuhan Yesus bersama murid-murid berusaha untuk menghindari orang banyak. Tuhan mau menenangkan diri setelah letih dalam pelayanan dan duka mendengar Yohanes Pembaptis dibunuh (lih. Mat. 14:1-12). Namun, bukannya dirinya terhindar dari orang banyak justru bertemu dengan orang banyak yang ingin dilayani Tuhan. Hati Tuhan tergerak oleh belas kasihan sehingga Ia pun melayani dan menyembuhkan mereka yang sakit (ayat 13-14).

Meski letih, hati yang tidak nyaman karena duka yang ia dengar, tidak mengurangi kasih Tuhan Yesus terhadap orang-orang yang mencari dan menunggu-Nya. Bahkan bukan hanya memperhatikan kehausan mereka akan kebenaran dan harapan kesembuhan dari sakit penyakitnya, Tuhan pun peduli dengan perut mereka. Tuhan tahu orang-orang itu pasti lapar. Kepedulian Tuhan ditunjukkan dengan mengatakan bahwa para murid harus memberi mereka makan.

Murid-murid sendiri memiliki pemikiran sendiri bahwa seharusnyalah orang-orang itu pulang untuk makan dan itu menjadi tanggung jawab masing-masing. Kebingungan mereka bertambah ketika Tuhan meminta agar murid-murid memberi orang banyak itu makan karena hanya ada lima roti dan dua ikan (ayat 17). Tentu tidak cukup untuk memenuhi makan bagi 5000 orang laki-laki belum termasuk perempuan dan anak (ayat 21).

Namun, apa yang terjadi? Tuhan tidak mengeluhkan keadaan. Ia tidak menyalahkan para murid atau orang banyak itu. Ia tidak bersungut-sungut dengan roti dan ikan yang sedikit itu. Melainkan Ia “menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu …lalu murid-murid membagikannya kepada semua orang. Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, dua belas bakul penuh” (ayat 19b-20). Mujizat terjadi karena bagi Tuhan tidak ada yang mustahil.

Kekurangan dan keterbatasan bukan menjadi alasan kita untuk mengeluh, berduka, khawatir yang berlebihan. Justru dalam keterbatasan, kita harus berdoa dan memohon berkat Tuhan agar apa yang ada, yang kita miliki (seberapapun itu) dijamah dan dikuduskan serta diberkati Tuhan sehingga mencukupi kebutuhan dan keperluan kita. Dalam kondisi saat ini hampir semua orang mengalami hal yang sama. Tetapi berbeda cara menghadapinya.

Sebagai persekutuan umat percaya, kita percaya bahwa Tuhan akan dan senantiasa menyertai serta memberkati kita. Karena itu, apapun kondisi kita, mari kita terus berdoa agar berkat Tuhan tercurah dalam kehidupan kita. Agar “lima roti dan dua ikan” yang kita miliki mencukupi kebutuhan-kebutuhan harian kita. Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil karena Ia peduli dan mengasihi kita – saudara dan saya. Amin!