Bersedia Menanti

Selamat pagi, oma-opa, ibu-bapak dan saudara- saudara yang baik. Kini, kita memasuki tengah pekan. Perlindungan Tuhanlah yang memungkinkannya. Dia benteng pertahanan kita. Puji Tuhan. Refleksi harian kita mengambil tema bersedia menanti.

Firman Tuhan sebagai pijakan refleksi harian kita, ”Bukankah hanya sedikit waktu lagi, Libanon akan berubah menjadi kebun buah-buahan, dan kebun buah-buahan itu akan dianggap hutan?

Yesaya 29:17

Saudaraku. Kita amat mengetahui perbedaan tanah yang subur dibanding tanah yang gersang. Di tanah yang subur, hampir segala jenis tanaman bisa tumbuh. Indonesia konon negeri yang amat subur, saking suburnya grup Koes Ploes menyatakan, ”tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.

Lalu, bagaimana dengan tanah gersang? Jenis tanaman tertentu saja yang bisa hidup pada karakter tanah yang demikian. Tumbuhan, bunga, pohon-pohan sangat membutuhkan air cukup untuk bisa hidup dan bertumbuh. Sedangkan di tanah gersang ketersediaan air hal langka. Jangankan untuk keperluan tanaman, buat kebutuhan manusia pun terbatas.

Dengan keperbedaan tersebut, betapa beruntungnya negeri kita. Asal mau bercocok tanam dengan tekun, akan memberikan hasil memuaskan. Tidak mengewakan. Sementara itu, kondisi tanah di Palestina dan sekitarnya meski tidak seratus persen gersang. Tapi umumnya kering. Gersang. Air terbatas. Mata air bisa jadi rebutan antar suku atau bangsa. Sebab, mata air merupakan sumber kehidupan. Lebih dari itu menjanjikan kemakmuran.

Saudaraku, nabi Yesaya bernubuat tentang perubahan dari kondisi tanah yang gersang menjadi subur. Dalam hal ini buat Libanon. Dan waktunya segera datang. Pasti nubuat itu disambut suka cita. Itu merupakan berita gembira. Karena daerah itu kelak berubah menjadi serba hijau. Dan pohon buah, tidak hanya bisa hidup, malah tumbuh di mana-mana laksana hutan. Negeri itu menjadi serba hijau. Nyaman dihuni.

Dan perubahan itu bukan khayalan. Melainkan sungguh kenyataan yang akan dialami. Cuma ada syaratnya. Ya, ada syaratnya, yaitu bersedia menanti dan percaya. Dengan kata lain, perubahan terjadi jika mereka beriman. Percaya bahwa Allah akan melakukannya. Selain itu, mereka bersedia menanti. Itu menandakan mereka harus sadar perubahan itu memerlukan proses. Dan jika dibutuhkan penantian, berarti proses itu memerlukan waktu dan peran mereka. Bukan sesuatu yang instan. Bukan ujug-ujug.

Saudaraku. Allah yang hadir ke dunia juga menjalani proses. Ia dikandung Roh Kudus. Lahir. Mengajar. Menyembuhkan. Ditangkap. Disalibkan. Mati. Sampai kenaikan-Nya ke surga. Itu rangkaian proses. Keselamatan itu bukan tongkat sulap. Dengan mengatakan abrakadabra, segera dengan tiba-tiba benda yang diminta sudah di depan mata.

Jika begitu, sebuah perubahan juga melewati proses. Jadi orang kristen yang sabar, penuh belas kasih, setia, tahan banting. Jelas, tidak lahir begitu saja. Ada pergumulan, tugas, ujian hidup, ada godaan, yang menempa mereka. Sehingga mereka bisa mencapai tahap iman, sikap (attitude) dan perilaku (behavior) kekristenan seperti dikatakan tadi: taat. Sabar. Setia. Tidak cepat putus asa. Dalam bahasa sebuah iklan “no pain no gain”. Segala yang kita peroleh, bagaimanapun ada yang harga yang harus kita bayar.

Hari ini, pilkada serentak. Semoga para pemilih jeli dan cerdas, agar memilih calon pemimpin yang membawa perubahan. Perubahan yang menyejahterakan masyarakat, bukan cuma mengejar perubahan lebih makmur buat pribadi, keluarga dan kelompoknya.

Kita berdoa. Tuhan, Engkau datang ke dunia untuk menawarkan dan memberi keselamatan. Dan Engkau menjalani jerih lelah sakit-derita. Biarlah, kami pun menyadari untuk meraih hal yang berharga, kami bersedia ditempa proses yang nematangkan iman kami.

Kami berdoa pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak. Semoga para pemilih bisa menetapkan pilihannya dengan cerdas. Agar diperoleh pemimpin yang membawa perubahan. Sekaligus, mereka menjalankan protokol kesehatan supaya situasi pandemi tidak bertambah buruk. Seluruh doa ini, kami panjatkan dalam nama Yesus, Amin.