Oleh Pdt. Audra R. Likumahuwa
Salah satu tantangan persekutuan dalam Gereja adalah sulit membuka diri bagi hal baru dan teman baru. Kadang terjadi “gap” antara mereka yang merasa “orang lama” dengan mereka yang diberi label sbg “anggota jemaat baru”. Mereka yang menyebut diri mereka “orang lama” terkadang punya kecenderungan merasa memiliki Gereja, merasa menguasai seluruh aktivitas hidup bergereja dengan alasan:
1. Saya lahir dan besar di sini.
2. Sejak dulu kakek nenek saya yang bangun gereja ini
3. Bapak ibu saya pernah jadi majelis jemaat
4. Ditambah lagi kini saya pun terlibat dalam kepengurusan gereja.
Rasa memiliki punya sisi positif tapi juga sisi negatif. Kecenderungan dalam diri Gereja, rasa memiliki yang berlebihan membuat orang mulai merasa terusik dengan kehadiran orang lain yang ternyata lebih keren dan lebih mahir dari dirinya. Perasaan terusik itu bisa muncul dari penyakit iri hati. Perempuan iri hati sama perempuan dan laki-laki iri hati sama laki-laki. Perasaan terusik atau iri hati ini membuat enggan membuka ruang bagi orang lain untuk terlibat.
Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan memilih berdiam di zona nyaman. Temannya sama si itu aja, mainnya sama si itu aja, melayaninya sama kelompok itu saja. Ngumpulnya sama yang itu saja. Padahal ada begitu banyak warga jemaat yang perlu dirangkul dan diberi ruang dalam persekutuan. Zona nyaman membuat perkumpulan menjadi semu dan kadang itu menjadi duri dalam daging bagi tubuh gereja sendiri.
Kita merasa berhasil membuat suatu kegiatan atau aktifitas padahal yang dirangkul si itu-itu saja, yang ngomong juga si itu-itu saja. Lalu kita merasa ada perubahan padahal sebenarnya tidak ada perubahan apapun karena yang dipuaskan hanya diri kita dan pandangan kita yang sesungguhnya sangat subjektif. Kita merasa berhasil ketika kita tertawa bersama, namun kita lupa ada orang yang terluka. Ada orang yang merasa tidak diterima ditengah euforia kegembiraan kita. Akhirnya kebersamaan tidak menukik dalam tetapi hanya sekadar untuk pamer. Padahal persekutuan bernilai bukan karena senang kumpul-kumpul tapi sejatinya dalam persekutuan itu kita belajar mengenal setiap orang dan memberi ruang bagi mereka menjadi bagian dari hidup bergereja. #Perlawatan13Feb2020