Gereja dan Pemberdayaan Ekonomi

Oleh: Pdt. Hariman A. Pattianakotta

Max Weber, sosiolog klasik yang fenomenal itu, mengatakan bahwa etika Protestanlah yang mendorong lahirnya kapitalisme modern. Tak semua orang setuju dengan Weber. Namun, Reformasi Gereja telah melahirkan Protestantisme, yang pada gilirannya membentuk etos hidup orang Eropa Barat. Bagi mereka, dunia masa kini adalah medan perjuangan untuk hidup secara bermakna, dan karena itu membutuhkan etika. Bekerja keras, tekun, rajin menabung, hidup sederhana dan berbagi, adalah manifestasi etika Protestan. Menariknya, etika itu dijiwai sebagai tanda bahwa seseorang telah mengalami keselamatan dari Allah, Sang Misteri, yang tak terjangkau itu.

Jadi, dengan dan dalam etika tersebut mereka berjuang keras di dunia ini untuk meyakinkan diri secara terus-menerus bahwa kasih karunia Allah sudah mereka miliki. Itu sebabnya, mereka belajar, bereksperimen, bekerja dengan rajin, mencintai dunia ini dengan apa yang mereka lakukan, dan merentangkan batas-batas diri ke dalam horizon kasih karunia yang tiada berbatas dengan etika yang menjadi way of life.

Alhasil, Eropa maju pesat. Ilmu pengetahuan, filsafat, seni, berkembang dari sana. Dunia industri bertumbuh, dan masyarakatnya sejahtera. Mereka hidup makmur tanpa kejahatan yang berarti.

Baru-baru ini, kita mendengar bahwa pemerintah Belanda menutup penjara-penjara di negaranya, sebab tidak ada nara pidana. Itu artinya, di negara yang tidak mau sibuk mengurus kelamin orang itu nyaris tidak ada kejahatan dan pelanggaran hukum yang berarti. Di negara-negara Eropa Barat yang sekuler, di sana kita justru melihat keteraturan dan kedisiplinan yang terpampang nyata.

Berbeda dengan negara-negara Eropa Barat itu, Indonesia yang disebut negara agamis justru mengalami peristiwa yang sebaliknya. Penjara-penjara kita penuh, bahkan tak lagi bisa menampung para terhukum. Berbagai tindak pelanggaran hukum dan moral terjadi dengan begitu telanjang di depan mata di mana-mana, bahkan tanpa rasa malu. Berbarengan dengan itu, kemiskinan seperti enggan pergi dari kehidupan masyarakat. Keterbelakangan, busung lapar, putus sekolah, nikah muda, perdagangan orang, bisnis narkoba dan bisnis selangkangan, adalah cerita sehari-hari kita.

Menariknya lagi, di daerah-daerah yang disebut kantong-kantong kemiskinan, di situ berdiri banyak gedung gereja. Dan gereja-gereja tersebut adalah hasil penginjilan badan Zending yang datang dari Eropa Barat. Itu berarti, kemungkinan kekristenan Indonesia tidak mewarisi Etos Protestan. Atau, meminjam Niebuhr, gereja-gereja tidak atau belum mampu mentransformasi budaya. Atau, malahan kekristenan yang justru diinjeksi oleh pengaruh budaya yang negatif seperti feodalisme dan mistisisme, sehingga gereja tidak memiliki daya transformatif. Hal ini tentu menarik untuk diteliti oleh gereja dan intelektual Kristen.

Transformasi

Dalam konteks masyarakat yang miskin dan sarat dengan kejahatan pada satu sisi, dan ketidakberdayaan gereja di sisi lain, kita memerlukan sebuah perubahan paradigma dan spirit untuk melakukan transformasi.

Gereja-gereja di Indonesia sudah harus berhenti “memasarkan” surga. Kita harus mulai belajar mencintai dunia. Artinya, meskipun dunia ini kerap disebut sebagai kemah, tempat sementara, tetapi inilah medan kasih karunia Allah. Karena itu, gereja harus melihat dan merangkul dunia sebagaimana Allah sudah merangkulnya di dalam inkarnasi Yesus Kristus. Dengan merangkul dunia, gereja merengkuh kasih karunia Allah yang membangkitkan pengharapan untuk berkarya dengan sepenuh hati dan ketekunan.

Dengan mencintai dunia, maka problem-problem yang dihadapi, baik internal maupun eksternal gereja, akan dilihat sebagai bagian dari tugas misional yang gereja harus tangani. Gereja tidak menutup mata, atau tidak cuci tangan seperti Pilatus. Gereja tidak lari dari tanggung-jawab seperti Kain terhadap Habel. Gereja akan berbuat dalam rahmat yang memberdayakannya untuk melakukan lompatan iman agar keluar dari batas-batas diri. Artinya, dengan meminjam lompatan imannya Soren A. Kierkegaard, iman Gereja itu seharusnya membuat gereja berani bertindak, sebab ada kuasa Allah yang memberdayakan. Tanpa keberanian, gereja tidak akan bisa melakukan transformasi. Ia hanya berhayal dan beronani dengan retorika kosong. Iman tidak boleh retoris. Iman harus menjadi aktus, tindakan, perbuatan.

Pemberdayaan Ekonomi

Kesadaran untuk bertindak dalam konteks kemiskinan dan kejahatan sosial telah menjadi kesadaran beberapa gereja. Salah satu Sinode Gereja yang saya ketahui malah menghimpun anggota-anggota jemaatnya yang pengusaha dan konglomerat untuk berbuat sesuatu. Para pengusaha ini ditantang dengan menghimpun dana dan aktif melakukan kunjungan dan pemberdayaan ekonomi riil ke desa-desa Kristen yang miskin itu. Mereka juga mendirikan Yayasan dan bersinergi dengan pemerintah dalam spirit pentahelix untuk transformasi.

Ada pula yang mendirikan Koperasi, PT, Credit Union. Singkatnya, ada aktus yang konkret untuk memajukan ekonomi. Mengapa? Sebab tanpa “logistik”, agenda apa pun akan sulit dikakukan. Karena itu, kehidupan ekonomi dilihat dan dijadikan sebagai pintu masuk untuk transformasi ke dalam segala aspek. Dari situ, barulah dikembangkan refleksi untuk menyiapkan dan meluaskan karya pelayanan secara holistik.

Karya-karya pemberdayaan ekonomi ini harus tertuju langsung ke gereja lokal/jemaat dan warganya. Tentu, bukan untuk menambah jumlah kas jemaat, tetapi supaya warganya berdaya. Jika warganya berdaya dan hatinya penuh rasa syukur, maka gereja juga berdaya untuk terus memberdayakan dan meluaskan kasih Allah. Ia kan?

So, bagaimana dengan gereja Anda/kita?

(Penulis adalah Pendeta Universitas UK. Maranatha)