Oleh Pdt. Hariman A. Pattianakotta
Virus Covid-19 tidak hanya membawa kecemasan dan ketakutan, tetapi juga mendorong Sinode-sinode gereja dan jemaat-jemaat untuk mengembangkan kreativitas menyiasati pembatasan sosial. Virus Corona memang harus dihentikan dan dimatikan, tetapi ibadat orang percaya harus tetap jalan dan direvitalisasi, sehingga memberi kekuatan dan membangkitkan pengharapan dalam segala sesuatu.
Bagaimana cara dan apa pemahaman teologisnya?
Gereja Rumah
Rumah (home) adalah basis dan tempat pertama kehidupan. Rumah di sini merujuk kepada keluarga yang dibentuk oleh Allah Kehidupan dengan cinta. Karena cinta, dua insan disatukan Allah untuk membangun rumah tangga. Di situlah mereka berjanji untuk membangun kehidupan seturut dengan kehendak Allah. Janji dan pengakuan percaya akan Allah ini yang menjadi fondasi keluarga.
Jika mengacu kepada perkataan Injil, “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18:20), maka keluarga adalah gereja. Perkataan Yesus ini harus dipahami dalam konteks persekutuan, bukan keberadaan Yesus Kristus. Sebab, keberadaan Yesus tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya dua atau tiga orang. Tidak ada orang pun, Yesus Kristus tetap ada. Dua orang adalah syarat minimal persekutuan.
Secara klasik, kita menyebut bahwa gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Allah di dalam Yesus Kristus, yang dihimpun dan dipersatukan sendiri oleh Allah di dalam kuasa Roh Kudus. Mengacu kepada definisi ini, maka gereja itu berawal dari keluarga. Ketika dua insan yang bersatu menyatakan janji dan pengakuannya akan Allah, maka sebetulnya di situ gereja baru pun tercipta. Istilah yang biasa dipakai dalam studi mengenai gereja adalah eklesiogenesis. Istilah ini mau menekankan soal asal-mula gereja, dan hal itu dapat ditelusuri mulai dari rumah atau keluarga. Bahkan, kita dapat mengatakan bahwa keluarga adalah gereja yang pertama.
Dalam pemanggilan murid-murid-Nya, Yesus memanggil kakak-beradik untuk menjadi murid, dan mereka ini kemudian kita kenal sebagai Rasul. Mereka berkarya dalam pekerjaan Allah untuk meletakkan dasar dan membangun persekutuan yang disebut ekklesia atau gereja.
Mujizat pertama dalam karya pelayanan Yesus Kristus juga terjadi di dalam keluarga. Air yang diubah Yesus menjadi anggur super enak itu terjadi dalam pesta perkawinan di Kana (Lih.Yoh.2:11). Di dalam dan melalui keluarga, Yesus Kristus menyatakan kasih dan kuasa-Nya. Keterbatasan keluarga tidak menghalangi kehadiran dan karya Yesus Kristus.
Keluarga memang mendapat tempat dan peranan khusus dalam kehidupan manusia, khususnya orang Kristen, dan sejarah perkembangan gereja. Pasca kenaikan Yesus, gereja mula-mula bertumbuh dari rumah. Situasi penghambatan dan penganiayaan membuat gereja berkembang dari rumah ke rumah. Konsep “gereja rumah” yang basisnya adalah keluarga terjadi dari situ. Orang-orang percaya benar-benar beribadat di rumah. Mereka berdoa, tekun membaca firman, dan makan bersama sambil mengenang dan menghadirkan Yesus Kristus dalam rumah atau keluarga mereka.
Dari rumah dan dalam situasi-situasi pembatasan dan penganiayaan itu, iman bertumbuh secara vital dan menarik. Orang-orang percaya justru hidup dengan penuh simpatik dan empatik. Sekalipun beribadat dan berdoa secara terbatas di rumah masing-masing, tetapi kasih mereka tidak terbatas. Mereka setia pada iman rasuli dan tekun dalam berbagi. Alhasil, sebagaimana yang dicatat Alkitab: “Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang-orang yang diselamatkan” (lih.Kis. 2:47). Di rumah/keluarga, kekristenan menjadi vital/penuh daya hidup, dan menarik.
Imamat Am
Tak bisa dipungkiri, ketika gereja berkembang dan bertambah banyak anggotanya di berbagai tempat, maka institusionalisasi terjadi. Gereja kemudian ditata sebagai sebuah organisasi dengan rupa-rupa aturan. Hal ini adalah kecenderungan alamiah yang tidak bisa dihindari. Akan tetapi, “organ-isasi” hendaknya tidak boleh mematikan gereja sebagai “organ” yang hidup, yang justru dimulai dari pribadi dan keluarga orang percaya.
Dalam sejarah gereja, pernah terjadi bahwa yang boleh membaca dan menafsirkan Alkitab hanyalah kaum klerus, para imam. Umat yang dikenal “awam” tidak memiliki keistimewaan itu. Bahkan, otoritas gerejalah yang menentukan orang diampuni dosa atau tidak, selamat atau tidak. Bayangkan, gereja secara institusi telah mengambil posisi Tuhan, dan mematikan iman dan daya hidup umat di hadapan Tuhan sendiri.
Realitas itulah yang antara lain melecut semangat Reformasi gereja pada 1517. Di mulai dari Luther, lalu Calvin, dan Reformator lain. Salah satu tema yang diangkat oleh Luther dan Reformator ini adalah imamat am orang percaya.
“Kamu adalah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri” (Lih. 1 Ptr.2: 9). Firman Tuhan ini memberikan kepada orang percaya kedudukan dan panggilan yang setara bagi semua orang percaya dalam memenuhi misi Allah di tengah dunia.
Semua orang percaya bisa datang kepada Allah tanpa perantara. Mereka adalah imam. Mereka perlu membangun hidup mereka seturut dengan firman Tuhan, karena itu mereka harus bisa membaca, menafsirkan, dan membahasakan firman itu dalam konteks mereka sendiri. Mereka adalah nabi. Mereka juga perlu menata dan mengelola hidup mereka dengan baik, agar syalom, damai sejahtera Allah bisa tercipta dalam kehidupan dan relasi mereka dengan yang lain. Mereka adalah raja. Semua gelar ini adalah gelar orang percaya. Namun, bukan gelar untuk prestise dan kesombongan, bukan juga sekadar jabatan, tetapi untuk penatalayanan Allah di dalam dunia. Gelar-gelar itu pertama-tama untuk menyatakan tugas dan fungsi.
Gerakan reformasi gereja ingin mengembalikan tugas dan fungsi orang percaya itu. Gereja sebagai lembaga tidak boleh mematikan tugas dan fungsi tersebut. Sebaliknya, gereja sebagai lembaga harus melakukan pemberdayaan.
Dalam konteks pemberdayaan itu, maka para pejabat gereja atau pelayan khusus, seperti penatua, pendeta, diaken, bertindak sebagai pelayan-pemimpin yang memberdayakan, bukan menjadi “tukang” yang menciptakan ketergantungan. Seakan-akan kalau mereka tidak ada atau berhalangan karena suatu sebab, maka tugas-tugas dan panggilan gerejawi untuk bersekutu, melayani, dan bersaksi menjadi batal atau ditiadakan.
Berkat Terselubung
Virus Corona yang mewabah saat ini membawa berkat terselubung. Gereja kembali ditemukan di dalam keluarga. Keluarga adalah eklesiogenesis.
Selain itu, orang percaya juga kembali diingatkan bahwa mereka adalah imamat am. Mereka adalah subjek yang harus berdaya di dalam Allah untuk melakukan misi-Nya di dalam dunia.
Pandemi Corona menjadi momentum bagi gereja untuk kembali menjadi persekutuan yang vital dan menarik yang dimulai dari keluarga-keluarga Kristen. Saya membayangkan, setiap keluarga akan difasilitasi oleh gereja secara institusi untuk menyadari dan menjalankan perannya di dalam keluarga dalam masa-masa ini.
Orang tua dan anak-anak akan berdoa dan membaca Alkitab dan saling berbagi pemahaman dan pengalaman mereka masing-masing guna memperdalam iman, pengharapan dan kasih.
Dengan secangkir teh atau kopi, pisang goreng atau pun roti, mereka bisa menghadirkan kembali ingatan akan kehadiran Kristus yang membebaskan. Setiap keluarga dengan gaya dan keunikan mereka masing-masing saling menjamu dan bercerita untuk saling meneguhkan. Apakah sambil melipat kaki di atas tikar, atau pun sambil mengangkat kaki di kursi yang ada di ruang keluarga masing-masing. Mereka berbagi kisah tentang Kristus, hidup dan pelayanan-Nya yang begitu mengagumkan. Bukan dalam ritualisme, tetapi dalam realitas sehari-hari.
Karena itu, kendati mereka harus tinggal di rumah karena Corona, tetapi mereka juga mau peduli dan berbagi dengan keluarga-keluarga lain. Misalnya, dengan membagi masker, hand sanitizer, makanan bagi keluarga lain, ataupun terlibat dalam pengumpulan dana di Sinode gereja untuk mengatasi Corona dan efeknya.
Dalam kasih Tuhan, jika covid 19 ini sudah berlalu, kiranya keluarga sebagai gereja pertama dan imamat am orang percaya yang ditemukan kembali ini tidak dilupakan, tetapi terus dilakukan dan dihidupkan dengan vital dan menarik, sehingga kekristenan dapat tumbuh secara relevan dan signifikan.
Karena itu, dalam situasi pandemik dan pasca pandemi nanti, kiranya gereja secara institusi dapat terus memperkuat orang percaya dan keluarga dalam segala aspek kehidupan.
Tuhan kiranya menolong kita melewati masa-masa sulit ini. Corona pasti berlalu. Amin.
(Penulis adalah pendeta GKP, bertugas sebagai Pendeta Universitas UK. Maranatha, Wakil Ketua Umum PIKI Jabar)