Oleh Pdt. Supriatno
Akhir pekan telah tiba. Sejak Senin, kita menikmati perjalanan hidup yang kita tempuh. Ada aktivitas rutin, yang berulang kita tekuni dan geluti, seperti pekerjaan. Ada pula hal- hal tak terduga yang hadir mewarnai hidup kita. Entah senang, atau susah. Dan kini, kasih Tuhan tetap menemani. Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Cinta kasih Tuhan terus menemani.
Kita akan merefleksikan firman Tuhan untuk pagi ini, dari 1 Raja-raja 17: 9, “Bersiaplah, pergi ke Sarfat yang termasuk wilayah Sidon, dan diamlah di sana. Ketahuilah, Aku telah memerintahkan seorang janda untuk memberi engkau makan.”
Saudaraku, tentu kita pernah mendengar nasihat, atau jangan-jangan kita pun pernah mengutarakannya, “kiranya yang kuat menolong yang lemah. Yang kaya mengulurkan tangan ke orang miskin”. Nasihat bijak agar tumbuh sikap peduli. Ya, yang kuat jangan menutup mata atas kesusahan yang dihadapi yang lemah. Yang miskin jangan tercecer tanpa topangan orang secara finansial kuat. Peduli dan berbagi merupakan praktik ideal yang patut diwujudkan.
Meskipun demikian, nasihat demikian patut dihindari dari kesalah mengertian. Apa itu salah mengerti? Nasihat yang indah dan seindah jika menjadi tindakan nyata itu, seolah-olah kita baru membantu bila telah kuat lebih dahulu. Tafsir seperti itu, berarti kita akan membantu yang lemah, ya, tapi nanti setelah kita kaya. Sesudah kita maju baru kita membantu. Mana kala ada pihak yang sedang susah, tak berdaya, kritis, kita hanya melihat dan diam. Kenapa? Ya, kita belum kaya secara materiil. Kita akan berdalih, “nanti bila saya sudah kaya. Itulah saatnya tiba saya mengulurkan pertolongan”.
Saudaraku, pola pikir demikian tentu kita kurang setuju. Sayangnya, praktik itulah yang kerap terjadi. Sebuah Jemaat enggan berbagi atau berperan serta meringankan kesulitan Jemaat lain, memakai alasannya tadi. Jemaat kami kecil. Kami belum menjadi Jemaat yang kaya. Nantilah! Atau juga, dengan dalih lebih yang bernada tajam, “saya saja masih susah, masa sih saya musti bantu. Gak salah, tuh!
Sudah janda, miskin lagi. Suatu kombinasi yang menunjukkan perempuan yang ditemui nabi Elia ini orang kecil dan lemah. Status janda waktu itu menunjukkan posisi sosial rendah, miskin menandakan secara ekonomi perlu bantuan. Jelas, perempuan itu tipe yang membutuhkan pertolongan. Dia wujud konkrit orang susah. Masa depannya buram.
Tapi, apa yang kita lihat? Ke perempuan itu nabi Elia diarahkan Allah untuk mendapatkan makanan. Ke sang janda dan miskin itu, Allah memerintahkan Elia mencari pertolongan. Jika bertukar posisi dengan nabi Allah itu, bukan tidak mungkin terbersit kesangsian, “ apakah tidak salah Allah menyuruh ke sana?” Apa yang bisa didapatkan dari orang, yang dirinya sendiri musti dibantu? Perempuan itu tudak layak dimintai, yang pantas ia yang diberi.
Saudaraku, janda dan miskin. Hidup perempuan itu pasti berat. Pertanyaan apakah besok bisa makan, adalah pertanyaan utama dalam sosok perempuan itu. Dan, lihatlah, saat nabi Elia meminta makan, yang tersedia cuma sepotong roti untuk penyambung hidup hari itu. Sepotong kecil roti dan kayu untuk mengolahnya. Tak lebih dari itu. Sepotong roti yang jadi satu-satunya konsumsi untuk anaknya hari itu. Esok, adalah hari ketidak jelasan.
Bisa jadi, nabi Elia bergumul batinnya saat meminta makan. Sebab, dengan meminta roti itu, ia sama dengan merampas sumber hidup satu-satunya milik janda itu. Bahkan, roti itu pun buat anaknya. Begitu pula, sang janda miskin, ia pasti bergumul hebat pula. Batinnya terombang-ambing. Memberikan roti itu, lalu bagaimana dengan dirinya dan anaknya? Jika tidak memberi, Elia adalah seorang nabi. Dia harus mendapat bantuan sebagai utusan Allah, Sang Pemberi hidup. Dalam kekurangan harus memberi, bagaimanapun sungguh merupakan momen pergumulan tidak mudah.
Saudaraku, kita tahu akhir kisah ini. Si janda miskin bisa keluar dari pergumulan. Ia lolos dari dilema. Ia memilih memberi di tengah ketidak berdayaan. Ia membantu, pada saat dirinya sendiri pada posisi sebagai pihak yang musti dibantu. Almarhum Bunda Theresa menyatakan, “ jika mengasihi, mengasihilah sampai terluka”. Ini contoh nyata. Janda miskin itu memberi bukan dari kelebihan tapi dari kekurangan.
Hari ini, posisi kita di mana? Jika kita sekarang adalah orang yang kuat secara sosial dan ekonomi. Ulurkan tangan untuk mereka yang lapar dan haus. Kekuatan kita menjadi kekuatan yang memberdayakan pihak yang butuh bantuan. Jika saat ini, kita belum maju dan kuat, ternyata firman Tuhan mengetuk kita, bahwa kita pun harus berbuat terhadap mereka yang amat membutuhkan. Jangan tunggu nanti, tatkala Allah meminta kita untuk peduli dan berbagi.