Setara di Hadapan Allah

Oleh Pdt. Supriatno

Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Seiring dengan mentari terbit di timur. Kita memasuki hari baru. Saat mata terjaga, itulah tanda Tuhan percaya atas kita. Agar kita terus melanjutkan hidup untuk berkarya dan memelihara iman, pengharapan dan kasih.

Mari kita berefleksi hari ini dengan berpijak pada sepenggal firman Tuhan, dari “Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa: (7) “Perkataan anak-anak perempuan Zelafehad itu benar; memang engkau harus memberikan tanah milik pusaka kepadanya di tengah-tengah saudara-saudara ayahnya; engkau harus memindahkan kepadanya hak atas milik pusaka ayahnya.” Bilangan 27:7

Saudaraku, orang tua semasa hidup, mereka melengkapi dan memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya hingga anak-anaknya mandiri. Itu merupakan panggilan dan kewajiban orang tua. Alami. Setiap orang tua tak terkecuali terikat pada hal itu. Bilamana orang tua meninggal, bahkan harta kekayaan yang dimilikinya pun ditempatkan agar anak-anaknya mampu melanjutkan kehidupannya. Di situlah tempat dan fungsi apa yang kita kenal dengan nama warisan.

Orientasi orang tua adalah memberi ruang dan fasilitas hidup bagi anak-anaknya. Kesejahteraan menjadi visi utama orang tua buat keturunannya. Berkenaan dengan warisan, kerap menjadi hal polemik. Karena harus dibagi di antara anak-anak, ternyata itu bukan perkara mudah. Paska kematian orang tua, ada anak-anak yang berhasil dan bijaksana mengatur pembagian. Ada pula kisah yang gagal. Tidak heran warisan bukannya menyejahterakan, malah keutuhan persaudaraan terganggu. Konflik meletup. Ketidak sepahaman antara saudara terjadi. Akhirnya, warisan bukan menjadi berkat, malah menghancurkan nilai persaudaraan.

Saudaraku, hal warisan tidak semata-mata soal bentuk yang diwariskan. Melainkan juga berkaitan dengan posisi dan pembagian. Siapa dapat berapa. Beragam pola pembagian warisan di tiap masyarakat. Di Israel jaman Musa, seorang anak sulung mendapat hak 2 kali lipat dari anak laki2 lainnya. Sedangkan anak perempuan tidak mendapat jatah warisan sama sekali. Dari pola pembagian hak warisan itu, kita dapat melihat bagaimana posisi laki dan perempuan. Jelas, ada ketidak setaraan. Laki-laki diistimewakan sedangkan perempuan dipandang lebih rendah.

Saudaraku, lima orang perempuan bernama “Mahla, Noa, Hogla, Milka dan Tirza”. Mereka mengadu. Mengeluh. Sekaligus menuntut hak waris. Posisi kelima perempuan ini haknya tidak tertampung atau terakomodasi dengan pola pembagian warisan yang ada. Padahal orang tua mereka tidak memiliki anak laki2. Kasus ini baru buat Musa. Demikian juga bagi imam, pemimpin dan masyarakat waktu itu. Karena kasus baru, tentu tidak mudah diputuskan. Karena kasus baru, tidak ada rujukan keputusan sebelumnya yang bisa dipakai.

Kitab Bilangan kemudian mengisahkan, Musa berkonsultasi dengan Allah tentang perkara itu. Tindakan Musa sangat terpuji. Dia tidak gegabah cepat memutuskan. Sekaligus agar terhindar dari keputusan keliru. Dan ternyata Allah membenarkan tuntutan lima perempuan atas hak waris mereka. Dalam perintah-Nya, Allah tidak ingin perempuan kehilangan haknya hanya karena mereka perempuan.

Saudaraku, Allah membenarkan tuntutan hak kelima perempuan itu, menandakan aturan, hukum atau norma harus mencerminkan keadilan. Dan keadilan akan terlihat ketika bagaimana perempuan diperlakukan setara dengan laki-laki. Sehingga sebuah masyarakat, gereja bahkan negara yang adil yaitu manakala perempuan dlindungi hak-haknya setara dengan laki2. Dengan kata lain, bagaimana perempuan diperlakukan merupakan gambaran nyata apakah ada keadilan atau tidak.

Saudaraku, syukurlah dalam kehidupan gereja dan keluarga kristiani, posisi perempuan sudah setara. Pendeta laki-laki dan perempuan tidak dibeda2kan hak dan kewajibannya. Kita menganggap sudah bukan jamannya dalam kepanitiaan atau komposisi majelis jemaat, perempuan hanya di posisi “ngurusin” konsumsi atau bendahara. Perempuan cakap menjadi top leader, ketua. Orang tua menyekolahkan setinggi mungkin, tidak hanya untuk laki-laki, tapi juga untuk anak perempuan. Kita menempatkan anak laki dan perempuan sama istimewanya. Sama-sama dikasihi dan diperhatikan dengan bobot sama.

Telah jauh pencapaian kita. Meski demikian, kita tidak boleh menutup mata di sana-sini, perlakuan ketidak setaraan masih ditemukan. Di keluarga anak perempuang diminta ngalah kepada anak laki-laki jika ada prioritas yang harus dilakukan. Yang mengenaskan, praktik-praktik kekerasan masih marak atas perempuan. Kekerasan di dalam rumah tangga mayoritas korbannya adalah perempuan. Mari, sebagai keluarga kristen dan selaku Gereja, kita menjunjung tinggi kesetaraan. Dan itu menjadi bentuk kesaksian kita.