Hindari Emosi, Kuasai Diri

Oleh Pdt. Supriatno

Bacaan: Kejadian 4:5

Selamat pagi, bapak-ibu, mas-mbak, eyang kung-eyang putri dan Saudaraku yang baik. Puji syukur dan terima kasih kepada Allah, pagi yang baru kita masuki. Semoga tidur dan istirahat malam menyegarkan kita. Kiranya kita bisa melihat dan mengalami kasih Tuhan di sepanjang hari ini.

Firman Tuhan untuk direnungkan, “tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram. “

Kejadian 4:5

Saudaraku, betapa berbahaya perasaan tersinggung dan cemburu manakala kita tidak mengendalikannya. Tindakan kekerasan bisa lahir gara-gara itu. Kisah Kain dan Habel mengingatkan bahaya tersebut. Walaupun keduanya terikat persaudaraan, malah saudara kandung. Tetapi begitu salah satu terbakar cemburu dan ketersinggungan, maka muncullah gelap mata. Saudaranya sendiri jadi sasaran pelampiasan tindakan kekerasan.

Persaudaraan merupakan nilai tertinggi dalam relasi antar manusia. Dua orang atau kelompok manusia yang berbeda bisa bersatu. Mengapa? Karena ada nilai persaudaraan yang merekatkan. Dengan nilai ini, kita memandang orang lain bagaikan saudara sendiri. Hidup bersama dengan rukun dan damai.

Dalam hal Kain justru lain. Demi perasaan egoisnya yang merasa bahwa sikap Allah lebih mencintai Habel, saudaranya. Ia abaikan Habel sebagai saudara. Di matanya, saudaranya adalah sasaran pelimpahan gejolak hati yang panas. Sepatutnya Kain introspeksi dan memperbaiki kekurangannya saat persembahannya ditolak Allah. Jalan itu tidak ditempuh. Ia lebih melihat Habel, saudaranya selaku saingan. Kain melihat saudaranya yang jadi pangkal, mengapa persembahannya ditolak Allah.

Saudaraku, ketersinggungan dan dipadu dengan rasa cemburu, akhirnya mengambil korban. Adik yang sepatutnya dikasihi justru kehilangan nyawa oleh tangan kakaknya sendiri. Posisi kakak dalam keluarga mengambil peran melindungi. Terutama dari ancaman dan bahaya dari luar keluarga. Kain, bukan saja gagal sebagai kakak yang melindungi adiknya. Bahkan ia sendiri pelaku tunggal yang menghilangkan nyawa saudara yang sepatutnya dikasihinya.

Saudaraku, kita mengenal istilah KDRT. Sebuah singkatan atau akronim yang menunjukkan bahwa orang terdekat dalam sebuah keluarga bisa tega berbuat kekerasan atas anggota keluarga yang lain. Sedangkan korbannya sesama anggota keluarganya sendiri. Bisa suami atas istri, atau sebaliknya. Orang tua atas anak, atau sebaliknya.

Dalam masyarakat kita, korban terbanyak adalah perempuan dan anak. Laki-laki tentu ada juga, tapi sedikit. Perempuan dan anak jadi korban karena lebih rentan. Secara fisik lebih lemah. Dan dalam budaya patriarki ( dominan bapak atau laki-laki), tersimpan sikap lebih ‘toleran’ terjadinya kekerasan atas perempuan.

Saudaraku, kekerasan itu berdampak pahit. Luka secara fisik dan batin berupa trauma akan dialami korbannya. Kita harus jadikan keluarga kita bebas kekerasan (zero violence). Kekerasan verbal berupa kata-kata, fisik atau kekerasan seksual yang belakangan ini merebak di banyak tempat.

Kita proteksi keluarga kita agar menjadi lingkungan yang nyaman, dan terhindar dari budaya kekerasan. Kita membangun suasana keluarga yang mengutamakan persaudaraan sebagai nilai tertinggi. Sehingga cinta kasih, kehangatan dan saling memberi perhatian hadir dalam keluarga kita. Cemburu dan tersinggung, pasti terjadi dalam hidup sebuah keluarga. Namun, jangan disimpan, agar suatu saat tidak meledak dalam bentuk mencederai fisik dan batin orang yang kita cintai. Kita harus mengelola emosi yang tidak sehat untuk dutundukkan oleh penguasaan diri yang kuat dan baik.

Tuhan, hari demi hari berlalu. Kiranya Tangan tuntunan-Mu tetap bersama kami. Jadikan kami mampu membangun kehidupan yang nyaman buat hati dan tentram dari ancaman. Baik di tengah keluarga, tempat kerja dan masyarakat.

Tuhan, kiranya kami semua bisa beraktivitas di hari ini dengan tubuh yang sehat dan jiwa penuh semangat. Tuhan berkati kami sekalian dengan kebutuhan yang kami perlukan. Ajar kami senantiasa bersyukur dalam segala keadaan. Dalam Kristus, kami berdoa. Amin.