Home Sweet Home

Oleh Pdt. Supriatno

Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Hari telah terang, malam yang gelap telah berlalu. Inilah hari baru yang disediakan Tuhan buat kita dan seluruh ciptaan-Nya. Semoga kasih-Nya yang baru telah menanti kita.

Petikan firman Tuhan yang hendak kita jadikan pijakan renungan pagi ini dari Roma 16:3,5, “Sampaikan salam kepada Priskila dan Akwila, teman-teman sekerjaku dalam Kristus Yesus…Salam juga kepada jemaat di rumah mereka. Salam kepada Epenetus, saudara yang kukasihi, yang adalah buah pertama dari daerah Asia untuk Kristus.”

Saudaraku, rumah itu suka bikin kangen. Sejauh manapun kita pergi, seindah apapun tempat yang kita kunjungi, ada saatnya kita musti pulang. Itu berarti yang dimaksud pulang ke rumah. Sesederhana apapun rumah yang kita huni, ke sanalah hati kita berlabuh setelah pergi ke mana saja.

Rumah bukan sekedar bangunan fisik. Keberadaannya secara kasat memang selalu bersifat fisikal. Ada atap genteng, tembok, lantai, daun jendela, pintu dan tetek bengek benda fisik lain yang melekat sebagai bagian yang melengkapi sosok rumah. Rumah tidak sebatas itu. Di rumahlah tempat asuhan cinta kasih manusia ditemukan. Kata cinta diperkenalkan. Wujud kasih diresapi. Kehangatan persaudaraan dijumpai. Di sanalah keluarga mendapat sari pati terbaik kasih sayang.

Karena itu, di kalangan orang Inggris dibedakan antara rumah secara fisik dan hal suasana yang menyenangkan yang hadir dalam rumah. Secara fisik rumah disebut “house”, sedangkan yang menyangkut suasana rumah disebut “home”. Rumah yang penuh kasih dan sarat dengan sayang disebut “home sweet home”.

Saudaraku, secara fisik maupun suasananya, rumah itu memberi kita kehidupan yang lebih manusiawi. Keadaban manusia bisa tercermin lewat rumah. Rumah yang kecil tapi asri dan dilengkapi tegur sapa hangat penghuninya. Itu cukup menjadi penanda siapa penghuninya. Sedangkan di rumah yang kerap sumpah serapah kerap terdengar. Pukulan sering melayang. Jeritan kesakitan terus terjadi. Jelas, bukan keadaban yang kita temui dalam rumah itu, melainkan kebiadaban.

Saudaraku, di saat kekristenan masih tahap pertumbuhannya masih tunas. Rumah tidak semata buat dihuni. Rumah juga menjadi tempat dan nyaman bagi persekutuan orang beriman beribadah. Di rumah paduan suasana kekeluargaan dengan peagungan kepada Allah menyatu. Rumah menjadi tempat kasih persaudaraan lantaran kesamaan gen bersua dengan kasih persaudaraan karena iman. Tentu paduan sangat indah. Di sanalah tunas kekristenan makin memekar.

Salah satu rumah yang mewadahi persaudaraan karena darah berpadu kuat dengan persaudaraan karena iman, adalah rumah Priskila dan Akwila. Rumahnya menjadi rumah bersama. Iman dan kekeluargaan terikat erat. Akwila dan Priskila adalah pasangan suami istri. Mereka korban antisemitisme paling awal. Mereka diusir keluar dari negeri Roma sebab keyahudiannya. Antisemitisme adalah rasa benci yang muncul kepada orang asing, khususnya terhadap orang Semit. Sedangkan orang Yahudi termasuk rumpun semit. Hitler merupakan tokoh antisemit di era modern.

Saudaraku, rasul Paulus menyampaikan salam. Salam merupakan ungkapan harapan terbaik dan ungkapan rasa dekatnya kepada pasangan suami istri itu. Sekaligus salam rasul Paulus kepada Jemaat yang menghidupi imannya dengan menempatkan rumah sebagai tempat khas. Ya, khas. Di rumah Jemaat bersekutu dengan Allah yang penuh kasih sayang, dan di sana juga suka duka persaudaraan dan kekeluargaan dibagi.

Saudaraku, rumah tetap rumah buat manusia dan keluarga bertunas kasih sayang. Dulu maupun kini. Memang dalam konteks masyarakat kita, kini ada larangan rumah yang dijadikan tempat permanen Allah dipuja dan persekutuan dibangun. Labelnya disebut persekutuan liar. Tidak lagi dilihat sebagai tempat di sanalah insan beriman untuk mengasihi Allah, dan kasih kepada sesama dapat ditemui dalam suasana kekeluargaan. Meski demikian, tetap ada yang masih bisa kita lakukan. Yakni kita ambil spiritnya. Semangat atau rohnya yang dapat kita jelmakan adalah, mari rumah kita menjadi tempat doa dan spiritualitas tetap bertunas. Kemodernan mulai menempatkan rumah tempat transit semata. Cuma untuk tidur dan istirahat setelah menjalani hari yang penat. Kita sebaiknya tidak melangkah ke sana. Kita tetapkan pendirian agar rumah sebagai “home sweet home” tetap terpelihara. Di rumah kita ingin mencecap manisnya persaudaraan hidup dengan rukun. Sekaligus di rumah pula manisnya cinta Tuhan dirayakan dalam hidup keseharian. Semoga demikian.