Oleh Pdt. Supriatno
Bahan: Hakim-hakim 7:6
Selamat pagi, ibu-bapak, mbak-mas, oma-opa dan Saudaraku yang baik. Semoga pagi ini, kita menyongsong hari baru dengan tubuh segar. Kita mengucap syukur kepada Allah. Sebab, karena Dia-lah, kita dan keluarga kita masih diberi umur kehidupan.
Firman Tuhan yang hendak kita renungkan, “Jumlah orang yang menghirup dengan membawa tangannya ke mulutnya, ada tiga ratus orang, tetapi yang lain dari rakyat itu semuanya berlutut minum air“.
Hakim-hakim 7:6
Saudaraku, kita pernah merenungkan bacaan ini. Waktu itu, kita mengangkat arti penting tentang kualitas. Betapa diperlukannya kita sebagai orang kristen bermutu. Bukan berapa banyak jumlah orang kristen yang ada, melainkan seberapa jauh kita berkualitas. Punya kualitas yang dirasakan sebagai garam dan terang buat masyarakatnya.
Kini, kita hendak melihat arti lain di balik cara minum 300 tentara itu. Kelompok ini minum dengan cara menciduk air dengan tangan lalu meminumnya. Sedangkan kelompok lain, yang tidak terpilih minum air dengan berlutut. Dan dari dua model itu, Tuhan meminta agar para anggota pasukan yang minum dari tanganlah yang harus dipilih. Jangan yang minum dengan cara kedua.
Saudaraku, tentara yang minum air dengan cara pertama, mencerminkan orang yang walau haus tetap waspada. Tentara yang demikian menunjukkan sikap hati-hati. Jika musuh datang, posisi mereka tetap bisa mengetahui lebih dini. Waspada. Dengan kata lain, tentara yang minum dengan cara menghirup air dengan tangan adalah tentara yang disiplin. Pembelajaran dari pesan Tuhan ini adalah, kondisi haus tidak boleh menganggap remeh keadaan sekelilingnya. Jika tiba-tiba ada musuh datang dan menyerbu, maka kedisiplinan mereka mengurangi tingkat resiko.
Sedangkan tentara yang minum dengan berlutut mencerminkan sikap lengah. Rasa haus mengalahkan sikap waspada terhadap lingkungan. Mereka bisa jadi sasaran empuk buat musuh. Jelas, tipe tentara seperti itu sebanyak apapun akan mudah dikalahkan. Kurang waspada mencerminkan sikap mengecilkan potensi serangan musuh. Dalam peperangan sikap demikian mengandung potensi kekalahan.
Saudaraku, di sini kita mendapat pesan betapa pentingnya sikap disiplin, waspada dan tidak takluk godaan. Banyak orang jatuh dalam hidup karena tidak disiplin. Konon, salah satu penyebab kita sakit adalah ketidak disiplinan hidup kita. Sudah umur di atas 50 tahun, masih saja makan saksang atau daging babi yang sangat berlemak. Atau daging iga yang gurih oleh lemaknya. Bagaimana tidak kena kolesterol, darah tingginya naik dan akhirnya dirawat di rumah sakit.
Sebaliknya, kita perhatikan anak-anak kita yang bermasa depan bagus, terlihat sejak dini sudah tertanam disiplin diri yang kuat. Mereka sejak kecil sudah terbiasa membantu pekerjaan2 di rumah. Belajar tidak didorong-dorong atau diiming- imingi. Tapi, sejak kecil sikap disiplin belajar sudah tercipta.
Sama, dalam kehidupan iman pun perlu disiplin diri. Bangun pagi lalu berdoa. Menyapa Tuhan dan membaca firnan-Nya. Itu memerlukan disiplin. Jika tidak, maaf, hangat-hangat tahi ayam, istilah kita. Sebentar saja semangatnya. Setelah itu hilang.
Disiplin dalam hal apapun, sama amat diperlukan. Jika kita tidak disiplin mengecek kendaraan kita secara rutin. Tunggulah waktunya, suatu saat kendaraan kita menghukum kita. Mobil bisa mogok di tengah jalan.
Saudaraku, tiap hari mereka yang sembuh dari virus Covid -19 menunjukkan angka melegakan. Patut kita syukuri. Pada sisi lain, mereka yang positif angka pertambahannya mencemaskan. Tentu, zona hijau tanda zona aman menjadi dambaan kita. Pertanyaan yang muncul berulang-ulang adalah, “kapan situasi ini berakhir. Dan ujian berat ini berlalu?”
Jika kita berani mengatakan, sesungguhnya situasi ini juga sangat ditentukan manusia itu sendiri. Tuhan kita Maha Penolong, namun bila manusianya mengabaikan pentingnya sikap disiplin, situasi berat ini akan berlarut- larut. Disiplin merupakan ekspresi paling tepat untuk disandingkan dengan pertolongan Tuhan, sehingga pertolongan lebih efektif.
Saudaraku. Memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, itu harus menjadi kebiasaan (habit). Sayangnya, ketika rendahnya disiplin, sikap-sikap itu sulit menjadi kebiasaan. Hal mudah dan sangat bermanfaat, menjadi hal sulit ketika miskin disiplin.
Iman itu bukan cuma percaya, lalu boleh bertindak semaunya. Bahkan seolah-olah berani melakukan hal yang menyerempet bahaya. Iman mewujud dalam sikap hidup yang menghargai kedisiplinan.
Saudaraku, mari berjalan bersama Tuhan. Berjalan bersama-Nya kita akan memetik arti berkemenangan. Kita tidak sembrono. Perlu pola hidup tertata. Dan dalam prosesnya bagaimanapun disiplin perlu hadir.
Kita berdoa, “ Tuhan, kiranya saat kami melangkah menjalani hidup ini, selama bersama-Mu kami tetap disiplin menjadi murid-Mu. Sehingga kami tidak perlu cemas. Kami percaya Engkau melengkapi kebutuhan hidup kami. Engkau mendatangkan sejahtera dan hidup tenang serta damai.
Demikian juga para oma-opa dan lansia. Kiranya tubuh sehat, kesetiaan iman dan hidup suka cita serta sejahtera tetap menyertai mereka.
Inilah, doa kami Tuhan. Dengarlah dan kabulkanlah. Amin.