Oleh Weinata Sairin
“Not to fix blame for the past but to fix the course
John F. Kennedy
for the future”
Ada banyak di antara kita yang suka membuat alasan atau mencari
kambing hitam. Seseorang yang tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk wawancara dan gagal dalam pencalonan menjadi direktur sebuah perusahaan mencari alasan atau kambing hitam. Ia mengatakan, pertanyaan dalam wawancara itu terlalu mengada-ada dan tak berkaitan
dengan tugas-tugas seorang pimpinan, atau ia beralasan ruangan tempat
wawancara terlalu dingin sehingga konsentrasinya buyar. Bisa juga ia mengatakan, ia sengaja diskenariokan tidak lulus dalam wawancara karena ia berasal dari etnis tertentu. Ia sama sekali tidak mau mengakui bahwa ia sebenarnya tidak siap menghadapi wawancara itu. Ia menganggap wawancara tersebut sekadar formalitas dan yakin lulus.
Mencari excuse (’alasan pemaafan’) atau menghidupkan ”kambing hitam” agaknya telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan umat manusia.
Realitas itu terjadi hampir di semua aspek kehidupan kita, bukan hanya di dunia politik. Yang dijadikan kambing hitam bisa apa saja: keadaan, zaman tertentu, orang per orang, benda-benda, dan sebagainya.
Uraian dalam Alkitab, tentang Hawa yang memakan buah yang
dilarang oleh Allah, memberikan afirmasi bahwa hal yang berkaitan dengan ”kambing hitam” itu adalah cerita yang sudah terjadi dalam awal sejarah manusia.
Dalam Alkitab diceritakan tatkala Allah mendesak Adam dengan pertanyaan, mengapa ia memakan buah yang dilarang itu, Adam tidak menjawab sportif. Adam mengatakan kepada Allah, ”Perempuan yang
Kautempatkan di sisiku itu yang memberikan kepadaku buah itu, maka kumakan!” Adam mencari alasan pembenar kesalahannya. Adam malah ”melahirkan” kambing hitam.
Kisah tentang excuse dan kambing hitam ini kemudian menjalari relung-relung sejarah kemanusiaan dari waktu ke waktu; menembus abad
dan zaman, bahkan tetap hadir dalam peradaban modern sekarang. Bagi Adam, di zaman itu, perempuan bernama Hawa itulah penyebab dia tergoda. Jika dielaborasi, kambing hitam dalam kasus buah terlarang itu bisa meluas. Tidak hanya berhenti pada Hawa. Dalam zaman modern, kambing hitam juga bisa amat luas dan menambah kerumitan dalam memahami esensi sebuah permasalahan.
Memang, kita harus berupaya untuk tidak membuat excuse atau menghidupkan kambing hitam, ataupun mempersalahkan sesuatu atau
seseorang apabila kita mengalami kegagalan. Kita harus merancang sebuah
program dengan lebih baik. Cermat perhitungannya. Jelas konsekuensi dan risikonya. Kita bisa membuat plan A, B, atau C dengan berbagai kalkulasinya. Jika sebuah program, dalam pelaksanaannya kurang berhasil atau gagal, tak usah kita membuat excuse atau mencari kambing hitam. Kita analisis saja penyebabnya dan kita cari jalan keluar lain.
Di zaman pandemi ini juga, kambing hitam banyak berkeliaran. Ada juga kelompok yang secara sadar membuat kambing hitam, sehingga pamor pemerintah bisa jatuh dimata rakyat. Pada semua level, anehnya ada kambing hitam. Ada keluarga yang sudah beberapa hari tidak bisa makan, tapi ia gagal mendapat bansos atau BLT. Peran kambing hitam? Nama warga itu tidak terdaftar di wilayah itu sehingga ia gagal menerima bantuan.
Pada sebuah dunia yang modern, berkeadaban, ketika profesionalisme, intelektualisme, moral, agama,makin mengemuka mewarnai kehidupan manusia, maka kambing hitam takboleh lagi dilahirkan. Kambinghitam itu menghitamkan kehidupan. Akhlak mulia manusia takboleh dicemari oleh kambing hitam.
Selamat Berjuang. God Bless!