Introspeksi: Mawas Diri

Oleh Pdt. Supriatno

Selamat pagi, bapak-ibu, opa-oma, Saudara-saudaraku yang baik. Puji syukur dan terima kasih kepada Allah yang menuntun kita melewati malam dengan istirahat yang baik.

Firman Tuhan pagi ini yang kita renungkan yaitu, “Bukan aku yang mencelakakan Israel, melainkan engkau ini dan kaum keluargamu, sebab kamu telah meninggalkan perintah-perintah TUHAN dan engkau ini telah mengikuti para Baal. “ 1 Raja 18:18

Saudaraku, ada ungkapan yang menyatakan, “ kau yang bertindak, kau yang bertanggung jawab”. Artinya, pada satu sisi kita sebagai manusia mempunyai pilihan sendiri atas apa yang kita lakukan. Kita punya emosi, keinginan dan kehendak. Kita bisa bertindak hal yang baik, dan bisa juga yang jahat. Kita bukan robot, yang disetel dulu pihak lain, baru kemudian bertindak. Kita punya kehendak bebas (freewill).

Pada sisi lain, setiap apa yang kita pilih dan lakukan ada konsekwensinya. Biasanya sekarang populer memakai istilah, “tabur-tuai”. Apa yang kita tuai merupakan akibat dari apa yang tabur. Kita menabur kejujuran, kita menuai kepercayaan. Kita menabur keramahan, kita akan punya banyak teman.

Sayangnya, Ahab tidak melihatnya demikian. Ketika mereka menuai musibah, yang pertama ia lihat adalah pihak lain. Dia menganggap nabi Allah, dalam hal ini yang mencelakakannya. Seolah-olah Allah kurang perduli dengan keselamatannya. Pola pikir seperti ini lazim terjadi sekarang juga. Sikap yang tidak melakukan introspeksi, melainkan mencari kambing hitamnya pada pihak di luar dirinya.

Elia membantah bahwa musibah kekeringan alam yang ekstrim, yang dituai Ahab merupakan kelengahan dan abainya nabi Allah. Ahab mendakwa ada pembiaran dari Elia. Telunjuknya diarahkan kepada Nabi Elia.

Elia menolak itu. Ia menyatakan, bahwa Ahab sendiri biang kesalahan dan biang keladinya. Ada ketidak beresan relasi Ahab dengan Allah. Ia mengkhianati kesetiaan. Ia menyimpang dari Allah sejati. Penyembahannya kepada Baal membawa konsekwensi. Musibah itu buah dari ulah diri sendiri.

Saudaraku, banyak kita temui mental demikian saat ini. Bertindak sendiri, ternyata langkahnya keliru, lalu Tuhan atau pihak lain yang disalahkan. Jika ada orang mengalami sakit yang berat. Jangan salahkan Allah, dengan tuduhan Dia tidak memberi kesehatan. Padahal sakitnya bersumber pada pola makan dan disiplin diri yang rendah yang dilakukannya.

Jangan salahkan Allah, bahwa Allah tidak mengabulkan doanya ketika hidupnya berantakan secara ekonomi. Padahal, itu buah dari perbuatannya sendiri. Malas. Manja. Orang tua menyediakan fasilitas tapi disia-siakan. Tidak gigih melakukan hal yang bisa memberikan kesejahteraan.

Mental mau bertanggung jawab merupakan sikap langka. Lebih gampang berusaha cuci tangan. Merasa tidak bersalah. Selanjutnya, pihak lainlah didakwa penyebab utamanya kejadian buruk. Seperti itulah tindakan Ahab kepada Elia. Elia dituduh sebagai kambing hitam. Orang yang didakwa bersalah di balik musibah kekeringan parah yang melanda Israel. Ahab merasa bersih dan nabi Allah itu diposisikan bersalah.

Saudaraku, Elia balik mengingatkan. Justru perilaku Ahablah yang jadi biang kesalahan yang menyebabkan parahnya alam harus ditanggung bangsanya. Ada kesalahan fatal yang dilakukan Ahab dan kerabatnya. Yakni meningggalkan Allah Penguasa alam semesta, lalu menjadikan dewa Baal pujaan barunya.

Di sinilah, saudaraku, manakala sebuah realitas tidak menyenangkan terjadi dalam hidup kita pribadi, atau yang menimpa kehidupan bersama. Jangan cepat-cepat menengok pihak lain, lalu menjatuhkan tuduhan bahwa pihak lainlah yang menjadi sumber kesalahan. Sikap terburu-buru demikian akan menimpakan kesalahan kepada orang lain yang bisa saja tidak bersalah. Selain itu, sikap demikian akan menutup diri untuk introspeksi.

Seseorang atau masyarakat yang tidak mau introspeksi, tidak akan memperbaiki. Dan itu berarti orang bersalah yang tidak mau bertobat. Padahal, iman itu tumbuh dan matang, jika orang beriman itu belajar mengalami kegagalan. Lalu mengakui kesalahan dan terus bertekad membarui diri. Mari, di minggu Pra paskah ini lebih baik kita menata diri sendiri daripada cepat-cepat menyalahkan pihak lain.

Kini, di negeri ini dan belahan bumi lainnya, banyak penderitaan, banyak tangis, banyak kepedihan akibat virus yang mewabah. Ini momen introspeksi, adakah ini semua berawal dari kesalahan manusia? Adakah sikap keagamaan yang keliru? Memanggil Nama Allah, tapi sementara itu menguras alam milik alam miliknya dengan tidak bijaksana.

Tuhan sertai langkah kehidupan kami. Yang sakit berikanlah pemulihan dan perkembangan yang melegakan. Kami berdoa kiranya yang saat tergolek sakit, cepat pulih dan sehat kembali. Pengetahuan dokter dan konsumsi obat mempercepat perkembangan kesehatannya.

Kami menyerahkan juga kepada-Mu, mereka yang sehat. Mampukan menjaga kesehatan dengan baik. Berikan kesadaran betapa penting dan berharganya kesehatan.