Jembatan Penghubung

Oleh Pdt. Supriatno

Bahan: 1 Samuel 25:32-34

Pagi baru telah tiba. Pertanda Tuhan memberi kita kepercayaan untuk mengisi kehidupan hari ini. Selamat pagi, bapak-ibu, oma-opa dan Saudara-saudaraku yang baik. Syukur dan terima kasih kita kepada Tuhan sebab kita masih dipercaya untuk hidup.

Bacaan refleksi pagi ini: “Lalu berkatalah Daud kepada Abigail: “Terpujilah TUHAN, Allah Israel, yang mengutus engkau menemui aku pada hari ini; (33) terpujilah kebijakanmu dan terpujilah engkau sendiri, bahwa engkau pada hari ini menahan aku dari pada melakukan hutang darah dan dari pada bertindak sendiri dalam mencari keadilan. (34) Tetapi demi TUHAN, Allah Israel yang hidup, yang mencegah aku dari pada berbuat jahat kepadamu jika engkau tadinya tidak segera datang menemui aku, pasti tidak akan ada seorang laki-lakipun tinggal hidup pada Nabal sampai fajar menyingsing.”

1 Samuel 25:32-34

Saudaraku, konflik adalah bagian dalam kehidupan masyarakat yang terus ada, bahkan sepanjang keberadaan hidup bersama antar manusia, konflik akan terus ada. Selama ada keperbedaan kepentingan konflik bisa meletup. Demikian pula, selama nilai yang dihayati manusia beraneka ragam, konflik tidak bisa dihindari. Gara-gara perlakuan yang tidak setara, itu pun bisa membuat ledakkan konflik.

Dalam keluarga fakta adanya konflik itu kita bisa lihat. Adik dan kakak bisa berseteru. Dua pribadi yang telah dipersatukan Allah saja bisa bersilang sengketa. Tak terkecuali dalam wilayah keagamaan. Di situ pun meletup konflik. Barangkali tidak berlebihan, kita katakan selama ada manusia di situ konflik pun selalu ada.

Konflik tidak bisa dihindari. Datang dan pergi. Pengelolaan konflik yang sepatutnya harus kita miliki. Banyak orang takut konflik, oleh karena konflik yang tidak dicarikan solusi dengan baik mengakibatkan banyak korban yang jatuh. Suami-istri yang terus-menerus konflik tanpa menemukan titik temu, bisa berakhir dengan putusnya ikatan perkawinan. Kakak-adik yang tidak mau dirukunkan, kehangatan persaudaraan mulai hilang.

Konflik itu beragam wujudnya. Dari keengganan berkomunikasi antar pihak yang berkonflik sampai ingin menghancurkan satu sama lain. Naluri yang bergejolak pada diri yang berkonflik adalah diri sendiri ingin menang sedangkan seterunya kalah. Di mana-mana fenomenanya begitu.

Konflik yang berkepanjangan kerap menakutkan, apalagi melibatkan dua atau lebih banyak pihak. Wajar menakutkan, karena ongkos yang dibayar selalu mahal. Siapa yang bisa menyangkali oleh sebab konflik keluarga bisa pecah. Satu negara saling mengangkat senjata untuk ‘mengakhiri konflik’. Jangan lupa, di Indonesia sebuah Gereja terbelah bukan karena pengembangan, namun gara-gara konflik.

Saudaraku, konflik bisa berlarut-larut atau berefek pada kerugian besar, bila melibatkan pihak ‘orang kuat’. Orang banyak bisa ikut ‘demam’ jika orang kuat saling bertikai. Sebab dampaknya ke mana-mana. Dalam teks bacaan kita ada dua orang kuat yang berkonflik, raja Daud dan Nabal. Satu penguasa, dan yang satu lagi pengusaha.

Jelas, mereka digolongkan orang kuat bukan mengada-ada. Daud sebagai raja, dia dalam pengungsian karena ancaman raja Saul. Daud tetap punya kekuatan riil. Pasukannya ribuan. Loyal. Dan efektif memberi pengamanan. Nabal pun sama orang kuat. Kekayaan yang berlimpah merupakan kekuatan riil juga. Bukankah kita tahu, uang atau materi bisa membeli pendirian orang. Banyak kisah, yang menceritakan bagaimana demi harta orang bisa meninggalkan iman. Apalagi, hal-hal lebih rendah daripada iman.

Dua orang sama-sama kuat. Sama-sama merasa kuat dan besar. Terbayangkan sulitnya meredakan konflik dan meretas jalan damai. Tiap-tiap pihak bisa mempertahankan harga diri. Jika sudah demikian, betapa susahnya mengalah demi sebuah kebaikan. Sama-sama menang (win-win) itu bukan idaman bagi pihak yang merasa kuat.

Saudaraku, raja Daud merasa telah melindungi ternak kekayaan Nabal. Daud minta agar itu dihargai. Ia merasa kehadiran tentaranya memberi manfaat bagi Nabal. Sedangkan Nabal merasa tidak kenal, apalagi merasa menyewa jasa keamanan. Sehingga begitu Daud meminta makanan dan minuman buat kebutuhan tentaranya. Maka jawaban yang Nabal bersifat penolakan. Ketegangan segera memuncak. Suhu relasi menjadi panas. Saling ancam mulai terlontar.

Apa yang terjadi bilamana dua orang kuat berkonflik tak terjembatani? Konflik akan berubah menjadi pertumpahan darah. Dan itu kerugian di kedua belah pihak. Pada saat jalan buntu karena tiap-tiap pihak tidak mau bergeser dari pendirian dan egonya, seorang perempuan tampil. Dia adalah Abigail, istri Nabal. Kemampuan membaca situasinya tajam. Naluri dan sikap bijaknya kuat. Dialah yang menjembatani antar kedua belah pihak mengurangi ketegangan. Instruksinya kepada hamba-hambanya agar menggelontorkan bantuan makanan kepada pihak raja Daud, terbukti mengurangi dampak akibat konflik. Betul, akhir cerita Nabal tewas. Tapi, keluarga dan hamba-hambanya tetap hidup. Kerugian akibat konflik terkurangi.

Saudaraku, di sekolah, di kekuarga, di gereja, di kantor dan dalam kehidupan masyarakat tak luput dari konflik. Kita patut punya kemampuan mengelola konflik. Agar di mana kita berada konflik bisa didamaikan dan kerugian bisa diminimalisir. Mengelola bukan diartikan konflik itu dipelihara. Bukan diawetkan. Melainkan, dari konflik itu kita mencari manfaat positifnya dan membuang efek negatifnya.

Mari kita berdoa, Tuhan, ajar dan mampukan kami untuk menjadi juru damai di mana pun kami berada.

Kami membawa kepada-Mu yang sakit. Bapak-ibu dan saudara-saudara kami. Kiranya Tuhan memberi pemulihan dan tubuhnya sehat kembali. Berkati juga dengan suka cita buat para lansia.

Seluruh doa kami panjatkan dalam nama Tuhan Yesus. Amin.