Yakobus 1:16-18
Ada sebuah kalimat menarik: lupakanlah kebaikan kita namun ingatlah selalu kebaikan orang lain! Hal yang seharusnya dilakukan adalah mengingat kebaikan orang lain supaya dapat bersyukur dan berterima kasih. Akan tetapi, hal lain yang seharusnya tidak dilakukan adalah mengingat kebaikan sendiri sebab dapat menjerumuskan kepada sifat sombong. Ketika merasa telah berdaya guna dalam menyelesaikan perkara orang lain, sehingga mampu mengeluarkannya dari situasi yang tidak baik, maka sebelum berbangga harus terlebih dahulu belajar untuk merendahkan diri di hadapan Allah. Oleh karena anugerah Allah-lah yang satu-satunya dapat mendorong manusia dalam berbuat baik.
Penulis surat Yakobus mengajarkan bahwa setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna datangnya berasal dari Allah. Pernyataan tersebut selain hendak mengatakan bahwa tak ada hal yang tidak baik datang dari Allah, juga menekankan soal segala yang baik sumbernya dari Allah, termasuk kebaikan manusia pun bersumber dari Allah. Penulis Yakobus ingin menekankan soal anugerah Allah yang berarti tentang kehendak Allah sendiri seperti yang tertulis di ayat 18 “atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita…” Kita menjadi milik Allah bahkan dikatakan menjadi anak sulung di antara semua ciptaan semata-mata karena anugerah-Nya.
Kebaikan bukan sekonyong-konyong atas kehendak diri sendiri, melainkan karena Allah. Ketika tidak dipahami demikian maka usai melakukan kebaikan biasanya akan muncul keinginan. Keinginan rentan menjatuhkan diri pada dosa. Sebelumnya, ayat 14 menuliskan demikian: “tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.” Sebuah pernyataan yang menjelaskan bahwa manusia sering kali jatuh ke dalam pencobaan karena terpikat oleh keinginannya. Kebaikan yang diiringi keinginan akan membentuk suatu pola timbal-balik. Misalnya saat menyapa orang lain tetapi tidak dibalas kemudian merasa kecewa, maka sudah menjadi tanda telah terbiasa dengan pola timbal balik. Ketika terbiasa dengan pola tersebut maka menjadi kesulitan besar untuk bisa ikhlas sebab selalu ada keinginan untuk mendapat pamrih.
Menginginkan mendapat balasan dapat membuat mudah kecewa pada sesama. Selain itu, telah banyak kasus di mana saat mengharapkan balasan tetapi tidak mendapatkannya, maka akan merenggangkan hubungan, yang tadinya dekat menjadi jauh bahkan putus hubungan. Ditambah lagi, memberi akan kehilangan nilai luhurnya ketika muncul keinginan. Pemberian dapat dikatakan pemberian jikalau terbebas dari pola timbal balik. Kini yang harus diubah dan mulai dijadikan kebiasaan adalah berpikir sederhana yaitu tidak repot berharap harus diberikan balasan. Ada kalimat serupa dengan pernyataan di awal, ukirlah kebaikan orang lain di atas batu dan ukirlah kebaikan sendiri di atas pasir! Artinya ialah kebaikan orang lain akan susah untuk dilupakan namun kebaikan sendiri yang ditaruh di pasir diharapkan mudah hilang karena terbawa ombak.
Kiranya dapat dipahami bahwa kebaikan manusia bersumber dari kasih Allah, Sang Kasih itu sendiri. Sesungguhnya pemberian Allah pun terbebas dari pola timbal balik. Segala pemberian dari-Nya tidak menjadikan kita berhutang. Ia memberi tanpa harus menerima kembali. Ia telah mengajarkan kita tentang ketulusan. (JST)
Pertanyaan pendalaman:
- Bagaimana tanggapan Saudara tentang sosok yang suka berbangga atas kebaikannya sendiri?
- Apakah Saudara setuju bahwa kebaikan itu harus berbalas?