Kebaikan Yang Membangkitkan

Oleh Pdt. Supriatno

Selamat pagi, ibu-bapak dan Saudara-saudaraku yang baik. Semoga pagi ini, kita menghirup udara hari baru seraya mengucap syukur kepada Allah. Sebab, karena Dia-lah, kita dan keluarga kita masih diberi umur kehidupan. Dan kita masih melihat birunya langit, tanda kesetiaan kasih Allah atas umat-Nya.

Firman Tuhan yang hendak kita renungkan adalah “Dia yang memuaskan hasratmu dengan kebaikan, sehingga masa mudamu menjadi baru seperti pada burung rajawali.” Mazmur 103:5

Saudaraku, bersediakah Anda menyebutkan dalam hati kebaikan Tuhan di hari kemarin? Saya yakin tentu mudah Anda menemukan dan menyebutkannya. Jangankan kebaikan hari kemarin, hari-hari sebelumnya, saya tetap yakin, Anda masih mengingat dengan baik lalu menyebutkan dalam hati. Demikian pula, untuk waktu-waktu yang telah lama kita lewati pun, bukan mustahil Anda masih mengingat kebaikan Tuhan yang Anda jumpai dan cecap. Kita ingat, karena pengalaman kebaikan selalu menggoreskan kesan mendalam.

Kita punya ruang memori untuk menyimpan peristiwa kebaikan. Terkecuali orang berwatak Malin Kundang, melupakan kebaikan dari seorang yang amat mengasihi demi kepentingan prestise atau gengsi. Bagi kita kebaikan manusia saja kita tetap ingat, apalagi kebaikan Allah. Yaitu tadi, karena menorehkan kesan di hati.

Saudara. Dalam berkomunikasi dengan orang lain, di dalam prosesnya ditaburi dengan pujian. Baik berbentuk kata-kata maupun berbentuk simbol. Ketika mendapat pesan WA, dan Anda merasa terkesan dan senang. Kemungkinan besar Anda merespon dengan mengirim balik gambar jempol tangan. Bukankah itu simbol pujian? Kita sangat suka memuji langsung ke segala kalangan, mulai kepada teman, atasan atau anak buah, pemimpin politik, atlit idola sampai kepada anak-anak, cucu atau saudara sekandung sendiri. Anda masih ingat sebuah iklan yang menggambarkan rasa senang dan pujian seorang nenek atas cucunya dan berkata, “Eh, cucuku sudah bisa berdiri”. Sekali lagi, pujian lahir dari rasa kagum dan terkesan sehingga terekspresikan melalui ungkapan kata-kata maupun bentuk simbolik tertentu.

Saudaraku, pemazmur memuji Allah. Tentu karena ia terkesan dengan kebaikan Tuhan. Paling tidak ada lima kebaikan Tuhan atas dirinya: Allah mengampuni, menyembuhkan, menebus, memahkotai dan memuaskan. Semua itu yang mendasari pemazmur memuji Allah. Jadi, pujian yang tulus dan sungguh-sungguh lahir dari perjumpaan dengan kebaikan Tuhan. Pujian tulus lahir dari pengalaman nyata dan langsung. Jika kita memuji anak-anak kita yang menyanyi padahal kita tidak mengalami keindahan penampilan mereka, itu pasti didorong cuma untuk memberi semangat. Itu cuma agar membuat anak-anak senang belaka. Pujian kurang bumbu, sebenarnya.

Banyak orang memuji sebenarnya karena basa-basi. Pujian kosong. Pujian yang berangkat tidak dari pengalaman mengesankan yang sesungguhnya. Bahkan, maaf, ada pujian yang bersifat menjilat. Cuma mau menyenangkan orang lain belaka. Dan ada pujian dilontarkan dalam rangka untuk mendapat imbalan tertentu. Meminjam pepatah kita “ada udang di balik batu”.

Saudaraku, kebaikan Tuhan itu riil. Nyata. Konkret. Tidak hanya buat pemazmur tatkala ia menuliskan mazmur ini bahwa kebaikan itu nyata. Begitu pun kita, kita mengalami hal serupa dalam realita kehidupan yang kita ziarahi ini. Kita mengecap kasih Tuhan yang mengampuni saat kita salah. Itu fakta. Tuhan menyembuhkan saat kita jatuh sakit. Itu fakta. Tuhan menebus kita karena jika tidak kita kehilangan sorga. Tuhan memahkotai atau memuliakan kita saat kita direndahkan orang yang memusuhi kita. Tuhan memuaskan saat kita rindu dengan kehadiran-Nya. Saudaraku, semua itu fakta yang kita imani dan benar-benar mengesankan kita.

Saudaraku, lebih jauh kita pun merasakan seperti pengalaman pemazmur. Yaitu bahwa berjumpa dengan kebaikan Tuhan membangkitkan daya hidup. Ada energi kehidupan dalam diri kita. Energi yang melahirkan semangat yang menyala-nyala. Allah yang berkarya dalam sejarah kehidupan kita dunia pun nyata. Berbagai wujud kasih-Nya itu fakta. Bukan kisah fiktif. Kebaikan Allah adalah fakta. Saya yakin, kita semangat itulah yang menjadi landasan pengharapan orang beriman mengalami situasi apapun. Semangat yang menjadi modal untuk menghadapi beragam situasi peristiwa kehidupan.

Saudaraku. Pemazmur mengumpamakan semangat yang demikian dengan sosok rajawali. Burung yang tangkas dan sigap menangkap mangsanya. Tidak pernah lelah terbang. Postur tubuhnya kuat. Bisa dikatakan harimau raja hutan tapi ratu angkasa adalah rajawali. Tak gentar angin besar. Tak takut hujan badai. Bisa seperti itulah orang yang disentuh kebaikan Tuhan. Sigap, semangat, sepertinya tidak mengenal lelah.

Di dalam menghadapi ledakan penyebaran Covid 19, kita jangan kehilangan semangat hidup. Memang kita lelah disajikan informasi terus-menerus terutama makin bertambahnya korban. Apalagi mereka yang menjadi garda terdepan. Mereka lelah secara fisik dan psikologis. Di sini kita menumpukan harapan pada kasih Allah. Kasih Allah senantiasa memberi energi. Energi untuk menguatkan diri sendiri, melainkan juga energi yang memberi efek ke orang lain. Karena disentuh kasih Tuhan yang faktual, kita menjadi sigap, cepat dan semangat dalam membangun kebersamaan dan pelayanan kemanusiaan. Itu semua efek kelihatan dikarenakan perjumpaan dengan kasih Tuhan yang mengesankan.