Oleh Pdt. Supriatno
Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Begitu bangun pagi ini, sebagian dari kita masih harus berhadapan dengan genangan air. Bisa di dalam rumah, atau lingkungan sekitarnya. Marilah, kita tetap mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih kita kepada Allah yang Maha Baik.
Firman Tuhan diambil dari Kisah Para Rasul 18:1-3, “Di Korintus ia berjumpa dengan seorang Yahudi bernama Akwila, yang berasal dari Pontus. Ia baru datang dari Italia dengan Priskila, isterinya, karena kaisar Klaudius telah memerintahkan, supaya semua orang Yahudi meninggalkan Roma. Paulus singgah ke rumah mereka.”
Saudaraku, ada ungkapan bahwa sekarang kita hidup di era globalisasi. Artinya, ada kesaling tergantungan antar manusia dengan manusia, atau negara dengan negara. Dan itu meliputi seluruh dunia. Secara mudah kita dapat kita kenali dari barang-barang di rumah kita. HP buatan China. Sepatu made in Vietnam. Kue-kue dari Singapur. Dll. Pola makanpun ada unsur kesamaan selera secara global. Di kota besar Amerika, orang-orang makan dengan menu ayam, kentang dan segelas minuman ringan, yang juga menu sama dikonsumsi orang di Manado sana. Belum lagi, lalu lintas orang yang bepergian dari satu negeri lainnya. Praktis, tidak ada lagi negara yang tidak beragam. Tenaga kerja kita tidak hanya ada di Malaysia, tetapi di Denmark pun mereka sampai di sana.
Dalam situasi demikian, masih saja ada orang yang tidak siap hidup bersama dengan yang berbeda. Berbeda karena agama, suku, etnis atau apapun. Yang menakutkan, ketidak siapan itu berubah menjadi prasangka dan kebencian. Lihat saja istilah “Aseng”. Satu ungkapan yang dipakai dengan ada nada kebencian terhadap etnis China. Meskipun tadi, perutnya masih suka capcai, mie, dim sum, dan HP yang dipakai buatan asal China. Masih saja merawat prasangka maupun kebencian dalam pikiran dan hati.
Saudara, sejak dulu sikap ketidak siapan hidup bersama dengan yang berbeda menuai korban. Tentu saja, korbannya adalah sekelompok orang atau individu yang tergolong minoritas. Banyak korban yang jatuh karena tindakan oknum yang tidak siap hidup dengan yang berbeda. Banyak tragedi kemanusiaan yang penuh kepedihan, terjadi akibat prasangka dan kebencian atas yang berbeda.
Saudara, sikap demikian bukan hanya gejala sekarang ini. Ternyata dari dulu sudah terjadi. Akwila dan Priskila merupakan pasangan suami istri. Mereka berdua korban dari sikap orang atau komunitas yang tidak mau menerima pihak yang berbeda. Mereka diminta hengkang dari tempat tinggalnya dan keluar dari negeri Italia. Mereka diusir karena etnis Semit. Mereka didesak keluar dengan paksa karena bukan pribumi. Kaisar memerintahkan seluruh orang Yahudi tanpa terkecuali, segera harus meninggalkan Roma.
Sedih sekali, manusia diterima atau tidaknya karena faktor agama, suku atau etnisnya. Begitu agamanya berbeda diusir. Begitu etnisnya lain, dipaksa pergi. Kepahitan dan kesedihan seperti itu, tengah menimpa seluruh orang Yahudi, termasuk pasangan Akwila dan Priskila, suami-istri tersebut. Mereka harus mulai lagi dari nol. Merintis lagi di tempat baru. Ini sungguh ujian kesabaran. Tanpa kesabaran yang kuat akan frustasi dan mengalami tekanan batin dan emosi yang berat.
Saudaraku, Rasul Paulus singgah di tempat baru Akwila dan Priskila di Korintus. Sebuah kota di Yunani. Di sana pula Rasul Paulus mengabarkan injil keselamatan. Di antara orang Yahudi ada yang menerima dan tidak sedikit menolak pemberitaannya. Karena rasul Paulus berprofesi sama dengan Akwila, yaitu tukang kemah, ia tinggal bersama mereka. Dari sanalah titik berangkat persahabatan mereka menjadi kuat. Dari sanalah pasangan suami-istri mengenal Kristus Yesus. Pengenalan yang kemudian menumbuhkan iman dan kesetiaan.
Saudaraku, dari nasib buruk karena korban kebencian etnis, ternyata menuntun mereka mengenal Kristus. Dari tragedi menjadi jalan yang mengantar Akwila dan Priskila menjadi pengikut Kristus. Dari kemalangan mengantar ke kemenangan. Tuhan mengubah nasib atau garis tangan suami-istri itu. Tuhan bisa membuat banyak cara orang sehingga akhirnya mengenal diri-Nya.
Bisa jadi, suami-istri itu tidak pernah membayangkan, dari nasib terusir mereka kemudian bisa mengenal Juru Selamat. Itulah, Saudaraku, Allah bekerja dalam segala peristiwa. Terbukti realitas yang buruk, yang pahit, yang menyedihkan, ternyata Tuhan pakai sebagai jalan, sehingga Akwila dan Priskila mengenal-Nya. Sedangkan rasul Paulus menjembatani perjumpaan mereka dengan Juru Selamatnya.
Kini, kita yang sudah mengenal-Nya, kita patut terus setia kepada-Nya. Selain Akwila dan Priskila, ada banyak yang lain, di mana mereka harus mengalami kepahitan dan kegetiran hidup dulu. Baru, kemudian mereka mengenal dan beriman kepada Tuhan Yesus. Setiap orang punya jalan mengenal Tuhan Yesus. Yang paling penting kita setia dan terus berbakti kepada-Nya. Iman kita tidak menjadi padam di tengah orang yang tidak siap hidup dalam keperbedaan.