Kesediaan Mengerti Perasaan

Oleh Pdt. Supriatno

Bahan: Roma 12:15

Selamat pagi, bapak-ibu, opung dan Saudara-saudaraku tercinta. Allah itu Baik, sungguh Maha Baik. Kita bersyukur atas penyertaan-Nya yang tak mengenal lelah dan henti.

Pagi ini kita mengutip firman Allah , “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis! “

Roma 12:15

Saudara, suasana hati manusia selalu di antara dua keadaan: menangis dan tertawa. Menangis menandakan hati yang pedih, pilu, merana atau terharu. Sedangkan tertawa menandakan hati yang gembira, suka cita atau hidup terlepas dari tekanan hidup. Dua suasana hati ini tidak akan pernah tanggal dari keberadaan manusia. Dan manusia mengecap keadaan itu secara berganti-ganti. Hari ini menangis, esok bisa saja telah tertawa. Atau sebaliknya, hari ini kita tertawa, siapa tahu esok atau lusa, mungkin juga hari setelah itu, hati kita berubah dengan kepedihan.

Apa maksud firman di atas, kita menangis dengan yang menangis? Bersuka cita dengan yang bersuka cita? Tentu kita tahu orang yang sedih kerap memerlukan simpati dan perhatian orang lain. Ia ingin berbagi hal yang menyebabkan ia gundah. Agar dengan berbagi itu ia bisa merasa lebih lega. Ia butuh topangan orang di luar dirinya, terlebih jika sumber yang membuat sedih adalah problematik yang berat.

Kehadiran dan kesediaan kita mengerti perasaannya sudah satu poin penguatan tersendiri. Dan aspek lain yang bisa kita gali dari himbauan firman Allah ini adalah agar kita bisa dipercaya, ya dipercaya untuk mengerti dan mendengar curahan hati dan batinnya. Ya, kita harus bisa menjadi orang yang dipercaya. Buat yang tengah sedih, tentu ia berbagi perasaan dan kesesakan hatinya tidak kepada sembarang orang.

Bagaimana dengan yang bersuka cita, mengapa kita harus bersuka cita pula? Ya, kita pun harus bisa menempatkan diri. Jika dengan yang bersedih kita bersimpati dan berempati. Sedangkan dengan yang gembira kita pun menjadikan kita ikut gembira. Kita menikmati suasana kegembiraan sebagai bagian kebersamaan. Kita tidak ingin mereka bersuka cita dalam kesendirian tanpa teman.

Saudaraku. Bagaimanapun setiap orang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Bahkan dalam kelimpahan sekalipun. Apalagi jika seseorang sedang susah, sedang bergumul, sedang down, sedang lesu, sedang berada pada momen kehidupan yang jika tanpa uluran tangan Tuhan dan orang lain akan makin tenggelam. Di situlah kita dibutuhkan Tuhan. Tuhan membutuhkan keterbukaan hati untuk perduli orang lain. Orang yang peka atas sesama.

Dengan kata lain, diungkapkan dalam satu kata, yaitu kita diminta firman Tuhan agar menjadi orang yang solider. Solider itu setia kawan. Saat kawan kita sedih kita setia menemaninya, demikian juga saat senang. Saat senang atau susah kita bisa hadir dalam hidup seseorang. Secara praktis, jika anak, suami, istri, ayah atau ibu, mengeluh dan perlu mencurahkan hati, apakah kita mau mendengarkannya? Dengan solider, Kita diam sejenak di samping mereka. Mendengar. Menyimak. Dan mereka merasakan Anda sungguh-sungguh hadir dan bersimpati. Jika mereka menangis, mereka merasa kehadiran kita memampukannya untuk menyeka air mata di pipinya. Mereka merasa ada yang memberi waktu dan perhatian.

Dalam dunia serba sibuk, orang asyik dengan dirinya. Kepentingan pribadi membawa dia berkonsentrasi pada diri sendiri. Kita sadar bahwa banyak sekali urusan yang menyedot perhatian kita, dan sering sulit dihindarkan. Sebenarnya teknologi modern membantu kita. Jika secara fisik langsung kita tidak selalu bisa hadir, telepon, video call atau voice call sewaktu bisa membantu kita. Yang penting, kita merawat jiwa solidaritas kita. Dalam suasana apapun mereka tidak merasa ditinggalkan oleh Anda ataupun saya.

Kita berdoa, Tuhan kiranya kami punya jiwa solidaritas, baik buat mereka yang sedang susah maupun yang riang gembira.

Berkati aktivitas kami semua hari ini. Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.