Mazmur 133:1
Firman Tuhan sebagai bahan renungan kita dari Mazmur 133:1, “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!”
Saudaraku, dalam sebuah acara yang besar, yang dihadiri banyak orang biasanya orang tidak saling mengenal. Semua asyik dan sibuk dengan dirinya sendiri. Berbagai tipe orang ada di sana. Ada orang yang ramah, ada pula yang ketus. Ada orang yang tenang, ada juga yang terburu-buru. Dengan orang beraneka watak dan gaya, jika mereka kumpul bisa berpotensi terjadinya kesalah mengertian dan konflik.
Teks Mazmur 133, latar belakang konteksnya adalah kota Yerusalem tengah dipadati orang-orang ziarah dari berbagai tempat dan negeri. Penuh sesak. Waktu itu, paskah merupakan acara sangat penting. Sekali setahun untuk merayakan Paskah, orang-orang Israel yang berada di negeri lain mudik. Mereka pulang kampung, dalam rangka merayakan umat Israel keluar dari Mesir.
Di situlah, kota Yerusalem menampung manusia yang berjejalan memenuhi sudut-sudut kotanya. Dan tujuan utama mereka ziarah untuk beribadah di Bait Allah. Pada saat itulah tercipta hidup bersama. Pendatang dan penduduk lokal berbaur hidup bersama. Maka, sungguh hal indah di antara mereka tidak terjadi gesekan. Para pendatang menghargai penduduk lokal. Penduduk lokal tidak bertindak hal yang tidak sopan atas pendatang. Tiap-tiap orang saling respek. Di situlah tercipta keindahan dipandang mata dan baik dirasakan semua pihak, tatkala mereka berdampingan dengan rukun. Keperbedaan bukan ancaman, melainkan berdampak positif untuk hidup bersama. Kesatuan dan kerukunan merupakan nilai berharga.
Sebagai orang kristen kita adalah saudara satu sama lain. Kita menjadi saudara laki-laki dan saudara perempuan karena ikatan iman yang sama. Dalam ikatan dan semangat kesatuan itulah, kita saling mengasihi, saling hidup rukun, dan saling mengampuni manakala terjadi kesalahan. Seperti layaknya saudara, kita merasa dekat, hangat dan penuh pengertian. Sebuah kehidupan bersama tanpa cinta, rukun, memaafkan maka kebersamaannya rapuh. Keropos. Kata “saudara” menjadi hambar. Hampa tanpa makna.
Sebuah bangsa dan negeri yang mampu melakukan keharmonisan di tengah ancaman keragaman, itu adalah Afrika Selatan. Orang kulit hitam setelah berkuasa, dengan pemimpinnya Nelson Mandela. Mereka bisa saja membalas penghinaan dan diskriminasi yang pernah dilakukan orang kulit waktu itu. Afrika Selatan bisa dinafasi kebencian dan dendam. Ternyata mereka lolos. Afrika Selatan tidak terperosok dalam pembalasan etnis besar-besaran. Alm. Nelson Mandela, presiden merupakan sosok yang membangun jiwa sebuah bangsa. Bahwa betapa lebih berharga kerukunan daripada konflik. Jiwa dan wataknya suka mengampuni, ternyata dicontoh dan diikuti rakyatnya.
Di sinilah, Anda dan saya memandang penting hidup bersama dengan menjaga dan memelihara semangat kerukunan. Permusuhan cepat diselesaikan. Konflik cepat diatasi agar cepat padam. Satu sama lain merasakan diterima dengan tangan terbuka dan hati yang hangat. Saudaraku, kita tahu sifat sebuah kota besar. Bertahun-tahun kita menghitup kehidupan kota besar. Kita menghirup udara polusi. Sekaligus juga menghirup hidup bersifat egoistik. Hidup sendiri-sendiri. Masa bodoh satu sama lain. Bahasa Betawinya, “elu-elu, gue-gue.” Atau ada istilah EGP, emang gue pikirin.
Gaya hidup demikian, bukan gaya hidup kristiani. Kita diajari Tuhan Yesus untuk hidup bersama yang lain. Dan suasananya diwarnai kerukunan. Semoga itu juga, yang kita kecap. Sekaligus, hal itu juga yang kita kampanyekan lewat mulut dan jari (medsos).
Kita berdoa, “Tuhan memasuki hari Senin ini, taruhlah api kerukunan dalam hati kami. Sehingga semangat cinta dan damai hadir di tengah2 kami.
Tuhan, Kami serahkan setiap langkah kami di sepanjang hari ini. Tuhan kiranya berkenan menjaga dan mengaruniakan kami hati yang memperlakukan orang lain sebagai saudara. Demi Kristus, kami berdoa. Amin.