Memanen Kepahitan

Oleh Pdt. Supriatno

Bahan: 1 Samuel 4:10-11

Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Saat kita terbangun dari tidur kita, marilah kita mengarahkan rasa syukur dan terima kasih kita lewat doa kepada Allah yang memberikan hari Senin.

Firman Tuhan hari ini, Lalu berperanglah orang Filistin, sehingga orang Israel terpukul kalah. Mereka melarikan diri masing-masing ke kemahnya. Amatlah besar kekalahan itu: dari pihak Israel gugur tiga puluh ribu orang pasukan berjalan kaki. (11) Lagipula tabut Allah dirampas dan kedua anak Eli, Hofni dan Pinehas, tewas.”

1 Samuel 4:10-11

Saudaraku, bangsa Israel dalam rangka mempertahankan keberadaannya di tengah bangsa lain harus menjalani peperangan. Sedangkan peperangan selalu menghasilkan dua keadaan: menang atau kalah. Menang berarti suka cita. Menang akan membawa bangsa Israel memiliki keleluasaan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Sementara itu, jika kalah maka nasib bangsa itu berada di bawah kekuasaan bangsa lain. Berkenaan dengan itu, pasti kemenangan yang selalu didambakan, bukan kekalahan.

Dua keadaan menang atau kalah merupakan hal tak terhindarkan dalam peperangan. Dan saat menghadapi bangsa Filistin, ternyata Israel kalah. Korban material dan nyawa harus diderita Israel. Bangsa yang dicintai Allah musti
menghadapi realitas pahit. Konon, 30.000 orang gugur. Suatu jumlah yang tidak sedikit.

Bagi sebuah keluarga, kehilangan satu saja anggotanya gugur di medan perang, itu sudah pukulan. 30.000 sebuah angka yang bermakna kehilangan besar. Demikian juga buat sebuah bangsa. Air mata kesedihan dan kedukaan akan mengalir di tiap keluarga Israel berkenaan dengan gugurnya putra terbaik mereka. Bolehlah kita katakan peristiwa itu menjadi hari berkabung ‘nasional’ buat seluruh umat Israel. Bangsa itu terpukul dan menangis.

Di antara yang gugur, ada dua nama yang disebutkan Hofni dan Pinehas. Dua nama dengan perangai dan kepribadiannya yang mencoreng nama baik ayahnya sendiri. Ayah mereka adalah imam Eli. Semasa hidupnya, mereka tidak pernah mau mendengar nasihat ayahnya. Sepak terjangnya jadi omongan. Sebab, tidak mencerminkan sebagai anak-anak pemimpin agama. Justru nama besar ayahnya dijadikan tameng yang melindungi perbuatan mereka yang tidak bermoral. Tukang main perempuan. Tukang mencuri pesembahan untuk Allah. Mereka memanfaatkan fasilitas ayahnya sebagai imam, tapi tidak menghargai Allah yang dilayani ayahnya.

Ketika hidup Hofni dan Pinehas, adik-kakak yang kompak. Sayangnya, dalam perbuatan-perbuatan yang membuat malu keluarga. Pada praktik hidup mereka, tidak tergambarkan rasa hormat dan takut akan Allah. Tingkah mereka yang jauh dari kesantunan dan nilai-nilai etika dan moral. Mereka selama ini lebih banyak membawa keresahan dan rasa malu, bahkan bagi keluarganya sendiri. Terutama imam Eli, seorang tokoh agama.

Saudara, betapa penting mendidik secara tepat kepada anak-anak. Jika tidak, kelak anak-anak yang tidak mendapat pendidikan tepat lebih banyak merepotkan orang tua. Mereka menjadi sumber pergumulan orang tua. Orang tua akhirnya menikmati masa tua dengan gelisah dan gundah. Anak-anak yang salah didik akan menjadi beban, padahal orang tua sudah memasuki masa tua yang ingin dinikmati dengan suasana tenang.

Imam Eli tidak memperlihatkan ketegasan sikap dan mendisiplinkan anak-anaknya. Akibatnya, buah yang ia panen adalah kepahitan. Karena itu, Saudaraku, kita patut menyediakan anak kita tidak hanya makanan yang cukup, makanan yang lengkap. Yang tidak boleh diabaikan, adalah anak kita butuh pendidikan budi pekerti dan disiplin hidup yang baik. Sehingga anak kita hormat kepada Allah dan sesama.

Kita berdoa, “Ya, Tuhan, jadikan kami sebagai pembawa kehendak-Mu dalam keluarga kami sehingga dalam keluarga kami takut akan Tuhan.

Kami berdoa untuk keluarga dan saudara kami. Kiranya Tuhan memberikan hal terbaik buat perjalanan kebersamaan dengan didukung kesehatan, hati yang bersuka cita dan sikap tangguh.

Seluruh doa dan harapan kami, kami alaskan dalam nama Tuhan Yesus. Amin.