Membutuhkan Proses

Selamat pagi, mas-mbak, bapak-ibu, opa-oma dan saudaraku yang baik. Puji syukur kepada Allah yang menempatkan kita di bawah sayap pernaungan-Nya. Sehingga pagi ini, kita bangun dan tetap menghirup udara kehidupan. Refleksi kita hari ini ingin memaknai semua membutuhkan proses.

Firman Tuhan yang kita renungkan, “Lemparkanlah rotimu ke air, maka engkau akan mendapatnya kembali lama setelah itu.”

Pengkotbah 11:1

Saudaraku, jika Anda menggigit cabe, efeknya langsung terasa. Kita merasa pedas. Tidak memerlukan waktu lama untuk mengetahui akibat makan cabe. Berbeda dengan apa yang menjadi efeknya bila kita terapkan dalam kehidupan. Suatu tindakan kita tidak serta merta kita tahu hasilnya. Sebab, hidup itu bukan bagaikan makan cabe.

Teknologi semakin ke sini semakin canggih, dan efeknya bisa kita kecap. Salah satu berkat yang kita tuai dari kemajuan teknologi adalah, sekarang dikerjakan, tidak perlu waktu lama kita bisa lihat dan rasakan hasilnya. Mengerjakan sesuatu dengan bantuan teknologi bisa selesai dengan segera. Seiring dengan itu semakin cepat kita ketahui dampaknya.

Saudaraku, keadaan ini membentuk mentalitas manusia. Yakni mentalitas ingin serba cepat. Hal yang perlu direnungkan adalah merebaknya mentalitas bersifat ketidak sabaran. Serba ingin cepat. Ingin cepat kaya. Ingin karier cepat mengorbit. Ingin cepat punya kekuasaan. Ujungnya sikap tidak sabaran. Lama itu membosankan dan jelek.

Firman Tuhan mengajarkan tentang hasil dari sebuah perbuatan, yang hasilnya tidak bisa segera kita nikmati. Perlu waktu. Membutuhkan proses. Meski butuh waktu dan proses lama, tapi itu tidak sia-sia. “Melempar roti ke air” seakan tindakan tidak berguna. Buat apa? Paling-paling roti itu akan hancur dan hanyut. Bisa jadi dinilai perbuatan tidak bermanfaat.

Bagi Pengkotbah tidak demikian. Roti yang dilemparkan ke air akan disantap ikan. Ikan akan bertumbuh baik dengan mengkonsumsi roti itu, dan pada saatnya kelak ikan dapat dipanen. Ada ekosistem yang akhirnya manusia bisa memanen dengan suka cita. Dengan demikian, tindakan membuang roti ke air tidak sia-sia. Hanya memetik hasilnya memerlukan waktu, dan lama. “Muter-muter dulu” lama.

Saudaraku, membangun mentalitas, iman, karakter dan kepribadian tidak bisa segera memetik hasilnya. Lama sekali kita kelak menuainya. Meskipun demikian, yakinlah, yang kita lakukan itu tidak percuma.

Orang tua yang membimbing dan menasihati anaknya, guru membimbing muridnya, pemimpin gereja membina warganya, tidak serta merta menuai hasilnya. Sebuah nasihat diberikan sekarang, tidak bisa secara instan besok nasihat itu langsung kita bisa lihat hasilnya. Ada yang butuh berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Membangun manusia bukan membuat kopi atau teh yang hasilnya bisa bersifat instan. Karena itu, jika kita ingin membangun mentalitas, iman, kepribadian, karakter butuh kesabaran. Semuanya membutuhkan proses.

Saudaraku, berkaitan dengan itu, maka seorang guru, orang tua, pemimpin agama, bahkan siapapun. Kita dituntut punya stamina kesabaran ketika melakukan fungsi kita. Yakni saat kita mengajak dan mengajar orang lain agar sesuai harapan kita dan sepadan dengan firman Tuhan. Manusia bukan benda yang dapat ditangani teknologi.

Yang jelas, kelak kita tahu dan pasti kita lihat bahwa yang kita kerjakan ada hasilnya. Tidak ada yang percuma. Tidak ada yang tidak berguna. Apalagi untuk pekerjaan mulia, tidak ada yang sia-sia. Kini, kesabaran kita diuji.

Pada 1938, Nicholas Winston seorang pegawai Bank di London. Mendapat kabar ribuan orang Yahudi, tempat ibadahnya, harta bendanya bahkan nyawanya berada di ujung tanduk. Adolf Hitler memutuskan menghancurkan semua yang berkaitan dengan Yahudi.

Nicholas tergerak. Ia menggalang dana lalu pergi ke Polandia berusaha menyelamatkan anak-anak Yahudi. 669 anak Yahudi selamat. Usaha beresiko besar. Jika tertangkap Nazi, Nicholas bisa dibunuh.

Bertahun-tahun, Nicholas tidak berbicara tentang tindakannya. Sampai tahun 1980-an istrinya menemukan nama-nama di loteng rumah. Barulah Nicholas berkisah tentang itu.

Dirancang acara pertemuan antara Nicholas dengan anak-anak Yahudi yang diselamatkannya. Seorang perempuan setengah baya menangis terus di samping Nicholas. Dan berulang-ulang berterima kasih. Saat momen perkenalan, diminta anak-anak Yahudi yang berutang nyawa berdiri. Semua hadirin berdiri, tersenyum dan terisak haru. Di antara mereka ada ahli fisika, ahli bedah, pebisnis, pengacara, seniman, pokitisi, guru. Sadarlah Nicholas, tindakan kemanusiaannya 50 tahun telah lewat. Tidak hilang disapu jaman, tapi pada waktunya muncul di permukaan.

Kita berdoa, “ya, Allah, kiranya kami terus mengikuti jejak-Mu bersabar menanti hasil dari pekerjaan yang dilakukan.

Kami berdoa, hari ini langkah kaki kami mengikuti jalan-Mu dan perbuatan kami memenuhi perintah-Mu. Sehingga kami yang banyak berada di rumah. Kami menyenangkan-Mu dan membuat sesama kami tersenyum.

Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.

Oleh Pdt. Supriatno