Selamat pagi, ibu-bapak, oma-opa dan Saudara-saudaraku yang baik. Setelah semalam kita berbaring dan tidur, pagi baru hadir. Semua yang kita kecap merupakan kebaikan Tuhan. Haleluya.
Firman Tuhan, “ Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu, (4) maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia.
Amsal 3:3-4
Saudaraku, stadion olimpiade Mexico City, tahun 1968, mencatat kisah menarik. Sore itu, penonton tinggal sedikit yang masih duduk menunggu. Seharusnya stadion sudah ditutup. Wartawan sudah banyak yang pulang. Tapi panitia dan penonton masih menanti seorang atlit yang masih berjuang untuk menyelesaikan garis finish. Meskipun, pembagian hadiahnya selesai.
Yang mereka tunggu bernama John Akwari, atlet asal Tanzania. Tak diduga kakinya kram. Terjatuh terantuk trotoar. Ia terluka. Tulang kakinya bergeser karena jatuh. Bahunya luka. Dengan balutan di sana sini, bersikukuh hendak menyelesaikan pertandingan. Dengan tubuh sempoyongan, menahan rasa sakit, nafas yang berat, akhirnya terlambat satu setengah jam, ia memasuki stadion yang lampunya telah dimatikan.
Begitu kakinya masuk stadion, sontak gemuruh tepuk tangan penonton menyambutnya. Diiringi sorak sorai, kakinya menjejak garis finish. Tuntas.
Dengan rasa kagum, seorang wartawan yang tersedia, bertanya mengapa ia harus menyelesaikan pertandingan. Karena, bagaimanapun ia tidak akan memperoleh jenis medali apapun.
Apa jawabnya? Ia mengatakan,” negeri saya mengutus saya mengikuti pertandingan di tempat yang jaraknya 5.000 mil, bukan hanya pada garis start. Tetapi negeri saya mengutus agar saya bertanding sampai garis finish.” Sebuah jawaban mengapa ia menuntaskan pertandingan meski tidak ada peluang mendapat medali.
Saudaraku, suatu contoh sebuah kesetiaan terhadap apa yang diemban dan dipercayakan lalu dikerjakan dengan tuntas. Ucapan Amsal dengan gamblang menggambarkan pentingnya kesetiaan. Sampai-sampai perlu dikalungkan dan diukir dalam loh hati. Tanda kesetiaan harus melekat erat. Tidak boleh lepas atau dilepaskan. Terlihat, sekaligus tertanam pada hati.
Memang kesetiaan penting. Tugas, perkawinan, iman, perlu kesetiaan. Setia dalam tugas berarti mengerjakan tugas sampai akhir. Tidak berhenti di tengah jalan dan ogah-ogahan. Setia dalam pekawinan, berarti patuh terhadap janji nikah, dan itu dijaga sampai maut memisahkan. Setia dalam iman, menegaskan iman dilakukan tidak sewaktu-waktu. Namun, dijalankan tanpa berpaling memilih keyakinan yang lain.
Kesetiaan atas hal tertentu, maka kita menunaikannya, kita tidak cepat menyerah. Dan terus dijalani dari mulai start hingga finish. Kesulitan merupakan ujian yang tak mampu menghentikan apa yang hendak dikerjakan.
Saudaraku, kesetiaan juga kita kalungkan di leher dan diukir pada loh hati kita. Pertanda kesetiaan itu tidak boleh hilang dan patut dilaksanakan sampai tuntas. Dan mereka yang setia akan diganjar kasih dan penghargaan dari Allah dan manusia. Seperti John Akhwari, betul tak ada medali apapun dibawa pulang. Kegigihan dan kesetiaannya menorehkan kagum dan pesona. Dan aksinya menjadi legenda.
Mari, terus menjaga kesetiaan. Sehingga kesetiaan menjadi hal indah dalam hidup kita. Terpasang di leher kita. Dan tak luntur karena diukir pada loh hati kita.
Kita berdoa, “Tuhan, menempuh kesetiaan kerap harus menempuh jalan terjal. Tapi kiranya kami kukuh menghayati dan mempraktikkannya”. Amin.
Pdt. Supriatno