Selamat pagi, bapak-ibu, oma-opa dan saudaraku yang baik. Perjalanan waktu terus bergulir, hari lalu telah berlalu baru telah tiba. Terpujilah Allah yang kasih-Nya tetap kita rasakan.
Firman Tuhan hari ini, Kemudian berbicaralah Daud kepada semua pegawainya yang ada bersama-sama dengan dia di Yerusalem: “Bersiaplah, marilah kita melarikan diri, sebab jangan-jangan kita tidak akan luput dari pada Absalom. Pergilah dengan segera, supaya ia jangan dapat lekas menyusul kita, dan mendatangkan celaka atas kita dan memukul kota ini dengan mata pedang!”
2 Samuel 15:14
Saudaraku, masa tua hidup raja Daud jauh dari keteladanan. Nama besarnya memudar, digantikan masalah-masalah besar hadir membebaninya. Ayat di atas bisa menjadi pintu masuk kita memahami pergumulan berat hidupnya. Dia bersama keluarganya, pasukan pengawal, orang-orang Lewi, para pegawainya, hendak menyelamat diri. Dalam jumlah hampir seribu orang, mereka harus segera meninggalkan Yerusalem.
Memang siapa yang mengancam, sehingga raja Daud menghadapi situasi gawat? Kita tahu sumber ancaman, yang bisa membuat mereka kehilangan nyawa bukan dari bangsa lain. Sosok ancaman bukan pesaing yang tidak suka kepada Daud. Sumbernya justru Absalom. Seorang tampan, sayang wataknya tidak setampan wajahnya. Ia putra kandung Daud sendiri. Ya, anak Daud sendiri yang sudah haus kekuasaan.
Sungguh memprihatinkan. Seorang anak hendak mencelakai bahkan hendak menghilangkan nyawa ayah kandungnya sendiri demi kedudukan raja. Itu berarti buat Absalom kursi raja adalah segala-galanya. Kita sering mendengar keluhan bagaimana kerasnya persaingan untuk mendapat kedudukan di kantor, perusahaan, pemerintahan. Demi kursi itu terjadi sikut-sikutan. Jegal-menjegal. Kawan bisa menikam dari belakang demi jabatan. Tapi, rivalitas itu dengan orang lain. Ini ayah sendiri. Ayah yang menghidupi dan membesarkannya.
Absalom mengincar kedudukan raja sudah lama. Dia menghasut rakyat. Dia cekoki rakyat dengan informasi ‘miring’ tentang ayahnya. Dengan diam-diam ia menghimpun kekuatan.
Wibawa atau Pamornya telah turun kenapa? Daud sudah tidak takut Tuhan. Ia terlena oleh kekuasaan. Ia kehilangan kontrol diri. Sekaligus ia kehilangan kontrol atas keluarga sendiri. Relasi antar anaknya dari ibu yang berbeda tidak harmonis. Istana memang megah. Tapi, penghuninya tidak hidup damai satu sama lain. Jadi, jika kita melihat rumah-rumah megah di Jakarta, Bandung, atau kota lainnya. Kita tidak bisa menjamin pemilik dan penghuninya hidup penuh persaudaraan. Bisa saja seperti istana raja Daud, hawa panas permusuhan lebih dominan.
Di saat kesulitan berat disebabkan ulah Absalom, anaknya. Tuhan masih menyayangi Daud. Allah memberikan orang yang membuat Daud melihat uluran tangan-Nya. Justru, orang yang loyal adalah tentara sewaannya. Sebenarnya, Daud sudah kurang mampu membayarnya, dan memintanya pulang. Tapi Itai, nama orang itu menjawab raja: “Demi TUHAN yang hidup, dan demi hidup tuanku raja, di mana tuanku raja ada, baik hidup atau mati, di situ hambamu juga ada.” (ayat 21).
Pernyataan Itai ini penting. Daud melihat ada orang yang loyal bukan karena uang. Loyal karena bentuk pengabdian kepada Allah dan rasa hormat atas sosok Daud yang tengah membutuhkan topangan. Bukan keluarga yang menggugah semangat Daud untuk bangkit. Tapi, karakter terpuji Itai. Pengalaman ini membuat Daud mengungkapkan bahwa hal ini tidak terlepas dari kebaikan Tuhan. Maka lahir ungkapan, “Tuhan adalah Gembalaku” (Mazmur 23:1).
Saudaraku, menurut pengelola jalan tol, salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan di jalan tol adalah manusia. Jalan yang mulus. Lurus. Tanpa hambatan. Membuat pengemudi tidak hati-hati. Tingkat kewaspadaan kendur. Akibatnya, walau sudah lelah dan mengantuk, memaksakan diri terus memacu kendaraannya. Akibatnya, menabrak mobil lain atau mobil keluar jalur.
Hidup Daud terbius oleh efek kekuasaan. Serba ada. Semua orang siap melayani. Serba mudah. Itu semua membuka peluang dia meninggalkan nilai-nilai utama. Konsekuensinya, ia menuai resikonya. Kewalahan mengelola kerajaan dan sekaligus mengelola keluarga. Bersyukurlah, di tengah keterpurukan, Tuhan menolong dan menghadirkan orang non-Israel yang loyal untuk menemani dan mendampingi tuannya.
Saudaraku, Tuhan memakai figur Itai. Dia hormat, dia loyal. Mengabdi bukan saat Daud jaya dan kelimpahan melainkan di tengah kesulitan dan kekurangan. Tipe dan karakter seperti ini jarang, dulu maupun sekarang. Namun, Allah akan tersenyum bila di antara yang jarang itu, kita terhitung di dalamnya. Kita tidak meninggalkan orang yang kita cintai atau teman sendiri di saat mereka jatuh dalam kesulitan.
Kita berdoa, Tuhan betapa baiknya Engkau. Meski manusia telah meninggalkan-Mu, Engkau tetap menyertai. Jadikanlah teman bagi yang membutuhkan uluran tangan.
Kami berdoa buat negeri kami. Kiranya Tuhan menjaganya agar tetap utuh dan terhindari dari orang yang terbius ambisi-ambisi politik yang menghalalkan segala cara. Berkati bangsa kami. Berkati persekutuan kami, demikian juga keluarga kami. Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.
Pdt. Supriatno