Semangat Euthikus Terlibat Persekutuan

Selamat pagi, ibu-bapak, oma-opa dan saudara-saudaraku yang baik. Seiring dengan pagi baru, kita pun merasakan serta mengalami kasih Tuhan yang baru. Puji Tuhan. Dia selalu maha baik dalam segala keadaan. Pagi ini kita akan mengenal seorang Euthikus.

Firman Tuhan hari ini,Seorang muda bernama Eutikhus duduk di jendela. Karena Paulus amat lama berbicara, orang muda itu tidak dapat menahan kantuknya. Akhirnya ia tertidur lelap dan jatuh dari tingkat ketiga ke bawah. Ketika ia diangkat orang, ia sudah mati.

Kisah Para Rasul 20:9

Saudaraku, apa yang kita katakan tentang orang muda, yang jatuh dari jendela karena mengantuk? Seorang ceroboh? Sebab, dia secara sembrono duduk di ketinggian tanpa memperhitungkan resiko jatuh. Atau, dia tergolong pria yang mengabaikan kesantunan. Ia duduk di atas, sementara itu rasul Paulus dan para tokoh duduk di bawah.

Pada jaman atau era kekristenan mula-mula, “berkumpul memecah-mecah roti” bukan momen sebatas mengisi bersama. Tidak. Aktivitas itu, melambangkan perayaan persaudaraan dan kekeluargaan. Di dalamnya saling berbagi. Tanda saling memperhatikan satu sama lain. Bahkan pola demikian melahirkan rasa suka dari luar persekutuan (lih. Kis 2:47).

Dalam acara itu, diisi pembicaraan cukup lama. Dan buat yang mendengarkan dan mengikuti pembicaraan itu tidak mudah tetap bertahan. Mereka sudah bekerja sepanjang hari. Dan bagi pemuda itu, yang bernama Eutikhus makin tidak mudah. Ia adalah seorang budak. Tenaganya sudah terkuras. Dia harus menyelesaikan tugasnya dulu.

Udara kota Troas sangat panas. Jelas keadaan demikian makin menyiksa. Oleh karena itu, agar bisa mendapat udara segar maka tempat terbaik duduk di jendela. Karena itu, Eutikhus memilih duduk di sana. Sayangnya, daya tahan tubuh ada batasnya. Ia kelelahan lalu jatuh.

Orang-orang menduga ia tewas. Karena tubuhnya tidak memperlihatkan tanda-tanda seorang yang masih hidup. Syukurlah, ternyata menurut rasul Paulus masih hidup dan itu benar. Kemudian setelah mereka menolong Eutikhus acara dilanjutkan hingga larut malam.

Saya ingat saat masih awal-awal sebagai pendeta. Warga Jemaat yang bergereja memakai mobil bisa dihitung jumlahnya dan mudah dikenali pemiliknya. Makin langka lagi pendeta dengan sarana mobil. Sekarang, warga gereja mengeluh parkirnya sulit. Saking banyaknya warga jemaat bermobil. Saya suka berseloroh bahwa para pendeta, bagaikan melampaui tunggangan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus naik keledai, para pendeta naik ‘kijang’.

Melihat Euthikus, sebenarnya menampilkan sosok yang penuh antusias terlibat dalam persekutuan dan mengambil bagian dalam percakapan serius. Keterbatasan fasilitas dan kelelahan fisik tidak mengurangi apalagi menghalangi kehadirannya. Bagi kita yang hidup dalam dunia modern, fasilitas dan sarana pelayanan jauh lebih baik. Malah, saat ini jarang sekali gedung gereja tanpa penyejuk ruangan. Ruangannya adem. Nyaman. Tapi apakah mengatrol warganya aktif di persekutuan dan pendetanya sigap dalam melayani.

Hal demikian, patut kita syukuri. Pertanyaannya, apakah dengan topangan fasilitas yang mempermudah pelayanan itu, identik menggugah semangat bergereja dan berkumpul ‘memecah-memecahkan roti’ makin tinggi?

Di sinilah si pemuda, Eutikhus memberi inspirasi dan pembelajaran. Udara panas, tubuh letih karena beratnya pekerjaan, fasilitas minim, tidak mengalahkan jiwa dan semangat keterlibatan dalam persekutuan. Ia hadir di sana.

Kita berdoa, Tuhan kami mensyukuri pemberian-Mu. Biarlah itu bisa kami pakai untuk menopang pelayanan kami. Materi yang kami miliki jadi berkat buat persekutuan.

Sertai kami sepanjang hari ini. Dijauhkan kami dan keluarga serta sesama kami dari bahaya virus jahat dan kecelakaan. Kiranya kami berlindung di balik sayap-Mu yang menentramkan. Dalam nama Yesus, kabulkanlah doa kami. Amin.