Mengasihi Daripada Menghakimi

Oleh Pdt. Supriatno

Firman Tuhan yang memandu langkah kita, diambil dari Yohanes 9:1-3, “1) Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. (2) Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (3) Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Saudaraku, ternyata beragam cara pandang melihat sebuah realitas penderitaan. Kita bisa simpulkan demikian, saya mengajak kita semua dengan mengambil contoh situasi paling aktual. Dalam hal ini, bagaimana orang melihat sekaligus menyikapi korban virus korona. Dari pengamatan saya ada beberapa yang mencuat, antara lain:

Pertama, ingat penduduk salah satu pulau di Indonesia yang menolak program observasi yang dilakukan pemerintah atas mahasiswa-mahasiswa kita yang dipulangkan dari China? Malah, wakil bupatinya pun menentang keras. Para mahasiswa itu baru mau diobservasi belum positif terinfeksi, betapa keras penolakan mereka. Suatu contoh cara pandang ketakutan lebih dominan ketimbang pertimbangan kemanusiaan. Lebih baik ditolak daripada menulari.

Kedua, memandang tersebarnya virus dan jatuhnya korban sebagai hukuman Tuhan. Seorang pendeta dari Amerika dengan lantang menyatakan, itu azab dari Allah untuk negeri Cina yang menolak Allah. Cara pandangnya lebih menghakimi daripada mengasihi. Penderitaan hadir lantaran dosa yang dilakukan. Baginya, Allah tak mampu mengubah hati manusia dengan cara baik-baik, sehingga Allah harus menurunkan bencana.

Ketiga, orang yang memanfaatkan penderitaan menjadi peluang memetik keuntungan. Orang-orang seperti ini, melihat fenomena kepanikan justru senang. Orang panik itu lebih mengikuti emosi daripada nalar. Lebih irasional daripada bersikap wajar. Jika beberapa hari ini dan beberapa hari ke depan, masker langka dan cairan anti septic hilang, buat mereka kabar baik. Tidak heran ada yang tega menimbun barang yang dibutuhkan hingga akhirnya harga menjulang tinggi. Mengeruk keuntungan sebanyak-banyak justru dari realitas penderitaan.

Keempat, mereka yang memandang penderitaan sebagai panggilan berbuat baik. Penderitaan momen memenuhi panggilan kemanusiaan dan mewujudkan nilai-nilai keimanan secara nyata. Patut kita ketahui, betapa kerasnya tenaga medis bekerja sekarang ini. Di Cina, Korea dan negara-negara lain, mereka sangat kelelahan. Pasien terus bertambah. Sementara itu, yang dirawat memerlukan penanganan dan pengawasan yang cermat. Sedangkan tenaga medis jumlahnya tidak seimbang dengan pasien yang terus datang.

Sungguh pekerjaan yang melelahkan fisik dan menguras emosi. Kita bisa membandingkan dengan waktu lalu, betapa repotnya rumah sakit dan tenaga medis kita menangani korban demam berdarah. Yang ini, jelas berkali-kali lipat tingkat kerepotannya. Dan mereka bekerja dengan diam dan tekun demi keselamatan sesamanya.

Kini, kita menengok bacaan firman Tuhan yang juga berkaitan dengan penderitaan. Para murid Tuhan Yesus bertanya relasi penderitaan dan dosa. Khususnya, ketika mereka melihat ada orang buta sejak lahir. Kebutaan merupakan penderitaan. Tak mampu menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Dunia serba gelap. Terlebih menderita tatkala sepanjang usia hidup dijalani dalam kegelapan.

Lazim orang melihat penderitaan dengan kesalahan yang dilakukan. Di jaman Tuhan Yesus anggapan itu berlaku di kalangan ahli Taurat dan orang Farisi. Malah, ada yang menghayati itu sebagai teologi. Artinya sebagai ajaran yang dihayati. Jika seseorang sakit atau celaka, dengan cepat disimpulkan bahwa ada tindakan salah yang diperbuat. Tidak heran ada orang sakit yang bertanya dalam hatinya, “dosa apa, ya, saya. Koq, saya harus sakit seperti ini?”

Tuhan Yesus menepis anggapan bahwa penderitaan lantaran kesalahan seseorang. Ia berkata tegas, “bukan dia dan bukan juga orang tuanya”. Artinya dengan penderitaan orang itu jangan entengnya mengarahkan telunjuk untuk mendakwa, bahwa orang itu atau orang tuanya sebagai penyebab penderitaan. Sekaligus, juga jangan jadi hakim yang cepat dan gegabah memutuskan orang itu sendiri atau orang tuanya terbukti melakukan kesalahan yang menimbulkan kebutaan.

Lalu, bagaimana memandang yang benar atas realitas penderitaan? Menurut Tuhan Yesus, penderitaan harus dipandang agar, “pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”. Artinya, lewat penderitaan Allah menunjukkan kebesaran-Nya. Karya-Nya dihadirkan. Orang menderita adalah orang yang mengalami kesakitan, kesepian, ketidak berdayaan, kekecewaan, putus asa. Dari situasi demikian Allah akan menunjukkan kebaikan-Nya. Sehingga mereka yang menderita menjadi tegar dan melihat keindahan kasih Allah di dalam hidupnya.

Dengan kalimat lain, daripada kita menyatakan “di mana ada penderitaan, di situ ada dosa”, lebih baik kita bergerak melakukan kebaikan. Aksi mengasihi lebih indah daripada ribuan kata-kata menghakimi. Sehingga dalam situasi menderita, orang yang menderita menemukan cahaya kebaikan yang menuntunnya untuk tetap bertahan.

Saudaraku, cara pandang Tuhan Yesus ini penting di saat negeri kita dan juga negara lain tengah berjibaku menghadapi penyebaran virus korona dan korbannya. Jangan kita mengumbar kata dan komentar tuduhan atas realitas ini, termasuk dengan gampangnya mengaitkan dengan dosa. Lebih baik menyingsingkan lengan baju, bersama Allah menghadirkan kebaikan dan kebajikan. Sehingga penderitaan terlewati dan manusia yang sakit dan menderita melihat kebaikan Tuhan bekerja dan kita jadi mitra-Nya.