Menghakimi

Oleh Pdt Supriatno

Selamat pagi, ibu-bapak, mbak-mas, oma-opa dan Saudara-saudaraku yang baik. Mentari mulai menerbitkan sinarnya di Timur. Burung-burung mulai bersiul. kita menghirup udara hari baru yang diberikan Tuhan. Syukur kepada Allah. Cinta kasih-Nya ini telah menanti kita dan keluarga kita di hari baru.

Firman Tuhan yang hendak kita renungan adalah “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” Matius 7:3

Saudaraku, salah satu karunia yang memperlengkapi diri kita sebagai manusia adalah kemampuan menilai. Kita bisa menilai suara itu merdu atau sumbang, benda tertentu indah atau jelek, makanan yang kita kecap enak atau tidak, seseorang itu baik hati atau jahat.

Selain karunia Allah, kemampuan ini muncul dan terasah tidak terlepas dari pengalaman. Dengan sering kita makan berbagai jenis kuliner atau makanan, kita jadi tahu mana makanan yang enak dan tidak.

Begitu juga, kita mampu menilai oleh sebab pengetahuan dan pendidikan. Dengan pengetahuan yang diperoleh secara lisan dari orang lain, atau buku yang kita baca. Maka, kita bisa menilai bahwa suatu berita hoax itu sesungguhnya berbahaya.

Menilai itu masih pada taraf netral. Dalam arti menyatakan mana yang indah dan buruk, mana yang baik dan mana yang jahat. Menilai membantu kita sehingga bisa mengambil pilihan yang tepat. Dengan bisa menilai mana makanan yang sehat dan mana yang berbahaya buat kesehatan. Maka, Anda dan saya dituntun untuk memilih secara benar mana yang mestinya kita makan. Kemampuan menilai sangat membantu menentukan pilihan tepat.

Saudaraku, meski demikian ada kemampuan menilai yang harus hati-hati. Apa itu? Penilaian yang mengarah bersifat menghakimi. Tuhan Yesus mengingatkan kita musti mewaspadainya. Ia mengajak kita jangan jatuh pada sikap penghakiman. Mengapa? Karena menghakimi merupakan penilaian tidak netral. Ada unsur terlalu menyalahkan. Penilaian gegabah. Orang lain belum apa-apa dinilai selaku obyek kesalahan.

Orang yang dihakimi ditempatkan pada posisi bersalah. Sedangkan yang menghakimi mengklaim diri lebih benar. Lebih suci. Dalam dunia keagamaan orang suka terjebak pada kesalahan menghakimi. Contoh kecil, ada orang yang berbulan-bulan tidak bergereja. Buat orang yang suka menghakimi, maka spontan ia akan menilai orang tersebut adalah orang tidak setia, malas, tidak cinta Tuhan, kurang taat. Tanpa lebih dahulu mengenali penyebab utamanya, bahkan tidak mau mendengar alasan penyebab sebenarnya ketidak hadirannya di ibadah Minggu.

Pada era atau jaman Tuhan Yesus, justru mereka yang mengaku pimpinan agama. Rajin berdoa. Buku utama yang dibacanya kitab suci. Tokoh di bidang kehidupan keagamaan. Dengan mudahnya mereka menghakimi orang yang di mata penilaian mereka sangat bersalah.

Saudara-saudara, ironinya, para pemimpin agama itu tidak bersih-bersih amat. Mereka juga punya kekurangan. Bahkan dibandingkan dengan orang yang dihakimi, mereka punya cacat dan kelemahan lebih besar. Tuhan Yesus memakai bahasa kiasan, yatu “selumbar” dan “balok”. Selumbar itu sepercik debu. Gambaran benda kecil sekali. Sedangkan balok jelas kayu yang besar, yang bisa menutupi penglihatan.

Pemimpin agama itu membesarkan kesalahan yang kecil. Kesalahan orang lain itu di-zoom. Diperbesar ukurannya. Sedangkan kesalahan besar yang mereka miliki seakan-akan tidak mereka lihat.

Sungguh, orang yang jelas punya kesalahan lebih besar malah menghakimi orang yang berbuat kesalahan kecil sekali. Orang demikian, orang yang ingin “memberesi rumah tangga” orang lain. Padahal “rumah tangganya” sendiri lebih berantakan. Mereka yang menyapu tapi sapunya lebih kotor. Menuntut orang lain sempurna, tapi yang bersangkutan kompromi dengan kesalahan pada diri sendiri. Orang demikian, kata Tuhan Yesus orang munafik. Indah di luar, buruk di dalam. Membeberkan bahwa orang lain salah. Sayangnya, pada dirinya sendiri melekat kesalahan yang lebih besar.

Saudaraku, fungsi pemimpin agama bukan menghakimi. Tetapi hadir menemani yang tersesat agar kembali kepada Allah. Menjadi sahabat bukan memusuhi. Mengulurkan tangan buat yang jatuh, agar bisa bangkit kembali. Membalut yang luka, bukan menambah luka. Betapa pentingnya hati-hati menilai orang lain. kita mengasah diri terus-menerus agar mampu menilai sesuatu dengan tepat.

Belakangan ini, ada penolakan terhadap jenazah karena penyakit tertentu saat mau dikebumikan. Lebih dari itu, ada yang sudah dikubur, masyarakat menuntut dibongkar lagi. Dan mereka meminta dipindahkan ke tempat lain.

Ada apa ini? Bisa jadi, lantaran kurang informasi, sehingga mereka takut secara kurang pada tempatnya. Sungguh fenomena memprihatinkan. Jika dalam benak mereka terdapat sikap menghakimi. Bahwa orang yang meninggal karena wabah itu dianggap aib. Ibaratnya keluarga sudah jatuh, ditambah tertimpa tangga pula. Betapa pedih kehilangan orang yang dikasihi lalu ditambah lagi dengan penilaian yang keliru. Ditolak dengan dasar suasana kental penghakiman.

Kita sebagai orang beriman tidak meniru tindakan yang melukai orang yang sudah terluka. Tugas kita membebat orang yang terluka. Bukan menambah luka baru. Jika memang ada orang yang benar-benar bersalah. Bagaimanapun kita menghindar dari sikap menghakimi. Lebih baik mendampingi, menemani dan mengajak bangkit kembali. Hati-hati. Kita jangan jatuh terjerembab dalam sikap dan tindakan menghakimi. Itu tidak elok. Tidak senafas dengan perintah Tuhan Yesus.

Kita berdoa, “ Tuhan, kiranya saat kami melangkah menjalani hidup ini, selama bersama-Mu kami tidak cepat menghakimi orang lain.😇

Kami serahkan orang-orang yang kami kasihi. Kiranya terlindung dari ancaman yang menakutkan. Dan berlindung pada-Mu, Pemilik kehidupan. Dalam nama Yesus, nama yang indah dakam hidup kami, doa ini kami panjatkan. Amin.