Oleh Pdt. Supriatno
Bahan: Yohanes 5:1-8
Selamat pagi, Saudara-saudaraku yang baik. Betapa indah hidup di dalam Tuhan, karena Ia senantiasa menjawab harapan kita. Pagi ini, menyediakan hari baru buat Anda dan saya. Puji Tuhan.
Firman Tuhan hari ini, “Sesudah itu ada hari raya orang Yahudi, dan Yesus berangkat ke Yerusalem. Di Yerusalem dekat Pintu Gerbang Domba ada sebuah kolam, yang dalam bahasa Ibrani disebut Betesda; ada lima serambinya dan di serambi-serambi itu berbaring sejumlah besar orang sakit: orang-orang buta, orang-orang timpang dan orang-orang lumpuh, yang menantikan goncangan air kolam itu. Sebab sewaktu-waktu turun malaikat Tuhan ke kolam itu dan menggoncangkan air itu; barangsiapa yang terdahulu masuk ke dalamnya sesudah goncangan air itu, menjadi sembuh, apa pun juga penyakitnya. Di situ ada seorang yang sudah tiga puluh delapan tahun lamanya sakit. Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan karena Ia tahu, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu, berkatalah Ia kepadanya: “Maukah engkau sembuh?” Jawab orang sakit itu kepada-Nya: “Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku.” Kata Yesus kepadanya: “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.”
Yohanes 5:1-8
Saudara-saudara, sungguh berat jika kita mengalami sakit. Banyak kegiatan yang biasanya mudah dilakukan, lantaran kondisi sakit, menjadi hal yang sulit. Dalam kondisi sehat, betapa mudahnya kita berjalan kaki. Tapi, tidak demikian halnya bagi yang tengah terkulai sakit. Bisa duduk, bahkan makan secara mandiri, itu saja menjadi amat istimewa. Organ tubuh tidak mudah diperintah, maka pihak di luar kita jadi andalan. Oleh karena itu, orang sakit sangat tergantung pada budi baik orang lain.
Sakit tidak hanya aktivitas terganggu, tetapi juga kehilangan rasa nyaman. Ada rasa sakit yang mendekam pada tubuh kita. Bisa kepala pening, badan lemas, perut mual, bahkan rasa nyeri, itu semua hadir seiring kita sakit. Bila orang dewasa yang mengalaminya, mungkin mampu menahan untuk tidak mengeluh. Beda tentunya dengan anak kecil atau bayi, mereka akan merengek dan terus menangis menanggung ketidak nyamanan.
Saudara, kita bayangkan ada orang yang menanggung penyakit bertahun-tahun. Tentu, sulit ada orang yang tegar menghadapinya. Hidup dalam serba tidak nyaman. Serba repot. Sekaligus bisa habis-habisan. Dana. Tenaga. Emosi. Semuanya habis. Itu semua tidak mudah harus ditanggung oleh orang sakit. Situasi makin berat lagi jika kasusnya seperti seorang sakit yang ditemui Tuhan Yesus di tepi kolam Bethesda. Tidak main-main perjalanan penderitaannya, 38 tahun ia harus mengisi hari-harinya dengan tergeletak sakit. Orang itu kehilangan waktu terbaiknya.
Saya yakin orang sakit tersebut mengalami kejenuhan, putus asa, mengeluh dan tidak mungkin marah-marah juga. Ia sudah menunggu lama penyakit lepas dari tubuhnya. Kita tahu menunggu adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Makin tidak menyenangkan harus menunggu 38 tahun.
Jangankan selama itu, jika anak kita atau pasangan hidup kita pergi cukup lama untuk sebuah keperluan. Maka orang yang menunggunya bisa kehilangan kesabaran. Sehingga begitu mereka tiba di rumah langsung disindir, “ pulang dari Singapur, ya. Lama banget!”
Saat Tuhan Yesus menemuinya dan menawarkan “maukah, engkau sembuh”. Bisa jadi ia ragu-ragu awalnya. Betulkah orang yang ada di hadapannya bisa merealisasikan mimpin dan harapan yang sudah puluhan tahun ia simpan? Dan, dia kemudian tahu ternyata tawaran Tuhan Yesus itu bukan omong kosong. Ia sadar bahwa tawaran itu bukan tawaran iseng, melainkan dari pihak yang bersimpati. Terbukti kepatuhannya diganjar kesembuhan.
Saudara, perlu disampaikan situasi pada waktu itu. Kejadiannya di kota Yerusalem. Dan Yerusalem sedang dipadati orang-orang yang merayakan hari Pentakosta. Jaman itu, Pentakosta adalah perayaan ucapan syukur panen. Jelas, suasananya meriah. Tapi, di balik kemeriahan itu, ada orang yang tergeletak dengan sakit yang menahun. Ada orang yang luput dari perhatian. Orang lebih fokus pada festival. Orang lebih asyik dengan perayaan.
Di sinilah, kita melihat, Tuhan Yesus menghampiri orang yang terabaikan. Tidak ada yang luput dari perhatiannya. Ia melihat. Ia bertanya. Ia membebaskan perjalanan panjang penderitaan seseorang. Badai hidup si sakit sudah berlalu.
Saudaraku, kita belajar dari teks Alkitab di atas, bahwa Allah kita dalam Yesus Kristus, tidak membiarkan ada yang tercecer. Manusia bisa mengabaikan dan masa bodoh atas penderitaan orang lain. Tuhan Yesus tidak. Ia mencari yang letih dan lesu karena penderitaan hidup. Ia menyapa dan memberi kelegaan. Harapan yang dibawa kepada Tuhan, kelak harapan itu tidak berujung sia-sia.
Saudaraku. Betapa beratnya sebuah penderitaan yang ditanggung seseorang, ditambah lagi ketika musti berjuang sendiri. Tapi, bagi orang beriman kehadiran Allah membuat kita optimis menjalani hidup ini. Tuhan Yesus tidak hanya bisa melihat orang yang menderita. Ia menghadirkan kebaikan dan itu melegakan orang menderita tersebut. Banyak orang yang melihat penderitaan orang lain cuma mampu melihat dan tidak mampu bertindak lebih jauh. Malah, ada yang cuma bilang, “kasihan, ya?” Setelah itu membisu.
Bagi kita di tengah-tengah penderitaan dan kecemasan saat ini, itu menjadi peluang kita berbuat baik. Sangat berarti kiriman SMS atau WA berisi perhatian dan dukungan moril. Apalagi datang menjenguk. Itu sudah melegakan orang yang sakit. Terlebih mampu berbuat lebih dari itu, tentu makin menguatkan orang yang sakit. Karena itu, saat saudara atau teman sakit. Terlebih-lebih orang tua. Jangan biarkan mereka ditinggalkan. Ditinggal sendiri seperti pengalaman orang sakit di pinggir kolam Bethesda.
Kita berdoa. “Tuhan, jadikanlah kami mampu menemani orang-orang yang tengah sakit. Menghibur. Menguatkan. Sehingga mereka tidak merasa sendirian di tengah penderitaan. Jadikan kami peka atas orang-orang yang sakit. Doa ini kami panjatkan dalam nama Tuhan Yesus. Amin.