Oleh Pdt. Weinata Sairin
”Tetapi roh yang di dalam manusia dan napas Yang Mahakuasa, itulah yang memberi kepadanya pengertian. Bukan orang yang lanjut umurnya yang mempunyai hikmat, bukan
Ayub 32:8–9
orang yang sudah tua yang mengerti keadilan.”
Dalam skema berpikir standar dan baku, hampir selalu dipahami bahwa orang yang sudah lanjut usia, sudah beruban rambutnya, diasumsikan lebih berhikmat. Oleh karena itu, mereka sering
diminta nasihat dan pendapatnya atau diminta duduk menjadi penasihat dalam suatu organisasi. Rambut putih dan khazanah kata-kata wisdom yang dimiliki, mampu menempatkan mereka
pada posisi khusus dalam masyarakat kita.
Skema berpikir bahwa yang beruban dan lanjut usia lebih berhikmat, ternyata dalam konteks Kitab Ayub tidak sepenuhnya berlaku. Diskursus yang berkembang antara para sahabat dan
Ayub, sebagaimana direkam dalam beberapa bagian Kitab Ayub, menggambarkan dengan cukup jelas berbagai pemikiran yang out of the box, pemikiran yang spesifik, yang tidak biasa, yang melawan arus.
Pemikiran cerdas bernas, penuh hikmat, dan diwarnai wisdom menurut Kitab Ayub, ternyata tidak hanya bisa keluar dari seseorang yang sudah lanjut usia, tetapi hanya atas kuasa roh yang ada di dalam manusia dan napas Yang
Mahakuasa! Usia tua dan rambut putih tidak serta-merta membuat seseorang mampu memproduksi kata-kata hikmat. Orang-orang muda yang rambutnya masih menggumpal dan hitam legam bisa saja memiliki hikmat, jika roh yang ada dalam dirinya itu dikuasai oleh napas Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, mari kita berjuang dan berdoa penuh kesungguhan agar napas Yang Maha Kuasa itu menguasai diri kita, baik sebagai pribadi maupun komunitas atau
institusi. Hanya jika diri kita dipenuhi napas Yang Mahakuasa maka kata-kata kita, pernyataan kita, serta ungkapan kita mampu memproduksi ungkapan hikmat yang meneguh-teduhkan umat, dan bukan sebuah arogansi sekuler yang cenderung hedonistik dan kontraproduktif.
Relasi pribadi seseorang dengan Tuhan, melalui doa, membaca Alkitab, mendengar kotbah, membaca buku-buku keagamaan akan besar pengaruhnya dalam menambah khazanah kata-kata hikmat di dalam diri seseorang pada saatnya bisa dibagi dan atau dipraktikkan dalam kehidupan seseorang. Buku-buku filsafat, pemikiran seorang Nelson Mandela, Bunda Teresa, Rumi, Gandi, Confucius dan pemikir-pemikir dunia dari berbagai latarbelakang acap menambah dan mengelaborasi narasi-narasi hikmat yang ada dalam diri kita, yang berbasis pada agama yang kita peluk. Pemikiran Hans Kung dalam konteks dialog antar agama, misalnya acapkali kita rasakan memiliki benang merah dengan pemikiran yang berkembang dalam agama-agama.
Di zaman pandemi yang serba sulit seperti sekarang ini, kita harus lebih sering mengucapkan kata-kata hikmat, diksi-diksi elegan, ungkapan empati dan simpati, rasa kesalingan dan kekitaan, kebersamaan, gotongroyong, diapasi roh kolegialitas.
Jauhi dan hindarkan diksi-diksi yang melukai dan menghakimi, yang sarat dengan dengki, benci dendam kesumat berlabel SARA/denominasi. Tinggalkan sikap egoisme, keakuan, kekamian, primordial dalam segala bentuknya.
Kata-kata hikmat, ungkapan yang cool, damai sejahtera, bisa meningkatkan imunitas dan daya tahan tubuh. Ungkapan hikmat,cinta kasih, solidaritas mari kita mulai dari rumah kita, lalu kita bawa ke ruang publik.
Selamat Hari Minggu.
God Bless!