MENJADI ORANG BIJAK YANG BIJAK

Oleh Weinata Sairin

”He is a wise man who does not grieve for the things which he has not, but rejoices for those which he has”.

Epictetus

Ada banyak pandangan yang dikemukakan oleh para tokoh dan aktivis di dalam masyarakat tentang siapa yang disebut ”orang bijak”. Ada yang secara sederhana memberikan gambaran bahwa orang bijak itu adalah orang yang ”rambut putihnya telah banyak dan melebihi yang hitam”. Definisi itu dalam kenyataan praktis terkadang benar, tetapi acap kali juga tidak tepat.

Ada banyak kasus yang kita hadapi dalam masyarakat yang berkaitan
dengan soal-soal moral atau etika, yang ternyata dilakukan oleh mereka
yang sudah berusia ”senja”. Yang cukup memprihatinkan kita, tindakan negatif itu dilakukan secara bersama-sama oleh orang-orang yang usianya sudah lebih dari setengah abad tersebut.

Sikap bijaksana memang tidak selalu berhubungan dengan rambut putih yang membungai kepala para oknum berusia lanjut. Sikap bijaksana bisa datang dari siapa pun, tanpa memandang usia. Sikap itu bisa saja lahir
dari seseorang yang sudah cukup lama menikmati asam-garam kehidupan; bisa saja dimiliki oleh seseorang yang jumlah jam terbang kehidupannya tinggi. Namun, sikap yang penuh wisdom (kebijaksanaan) bisa lahir dari
seseorang yang memiliki kematangan kepribadian, yang menggeluti dengan amat intensif persoalan yang muncul dalam kehidupan.

Sikap bijaksana bisa terwujud melalui sisi-sisi kehidupan yang besar, juga yang kecil, dalam konteks budaya mondial yang amat beragam, yang diwarnai ajaran keagamaan bernilai universal.

Sikap bijaksana amat diperlukan dalam banyak aspek kehidupan.
Dalam sebuah kehidupan yang keras, yang di dalamnya para anggota masyarakat sering terlibat konflik, peran orang bijak amatlah penting.
Ada kisah menarik tentang bagaimana sikap bijak bisa memperbaiki suasana dalam sebuah makan malam. Pada saat selesai makan malam, seorang pelayan menyodorkan mangkuk untuk mencuci tangan ke hadapan Harold Russell, seorang mantan tentara yang tidak lagi mempunyai tangan sebagai akibat perang.

Menyadari kesalahannya itu, pelayan itu tampak sangat malu. Harold, sang mantan tentara, mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum lebar, kemudian berkata: ”Maaf, Nak, aku tidak pernah menyentuh barang itu!”
Ungkapan Russel amat bijak. Ia tidak perlu memperlihatkan sikap berang atau marah karena sang pelayan yang seolah mengejek kondisi tubuhnya. Ia menyelesaikan soal ”besar” itu dengan ungkapan kata yang tepat. Itulah sikap yang bijaksana: melakukan hal yang tepat dengan ungkapan kata yang tepat, pada waktu yang tepat.

Orang bijak juga adalah orang yang amat memperkembangkan sikap ugahari, kebersahajaan, sikap sederhana. Ia bukan orang yang serakah, loba, atau tamak, yang mengambil hak/milik orang lain untuk memuaskan diri sendiri.

Pepatah kita kali ini menampilkan pemikiran yang cukup bagus tentang orang bijak. Ia tidak bersedih untuk hal-hal yang belum ia miliki namun ia bergembira dengan apa yang ada padanya. Mari berjuang menjadi orang bijak agar kehidupan dan peradaban manusia makin lebih baik.

Kita harus menjadi orang bijak yang benar-benar bijak. Orang bijak itu pasti taat protokol kesehatan. Orang bijak itu tidak melawan petugas tatkala ia terkena razia masker. Orang bijak itu percaya bahwa Covid 19 itu ada sebagai virus dan bukan produk politik, atau efek samping halusinasi.
Selamat Berjuang. God Bless!