Oleh Pdt. Supriatno
Bacaan: Yohanes 5:6
Selamat pagi, bapak-ibu, mbak-mas, oma-opa dan Saudaraku yang baik. Mentari telah terbit di Timur. Tanda hari baru pemberian Tuhan telah tiba. Syukur kepada-Nya, begitu bangun kita melihat orang yang kita kasihi masih diberi nafas kehidupan.
Firman Tuhan yang jadi titik tolak refleksi kita, “Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan karena Ia tahu, bahwa ia telah lama dalam keadaan itu, berkatalah Ia kepadanya: “Maukah engkau sembuh?”
Yohanes 5:6
Saudaraku, sungguh berat jika kita mengalami sakit. Banyak kegiatan yang biasanya mudah dilakukan, lantaran kondisi sakit, menjadi hal yang sulit. Dalam kondisi sehat, betapa mudahnya kita berjalan kaki. Tapi, tidak demikian halnya bagi yang tengah terbaring sakit. Bisa duduk, bahkan makan secara mandiri, itu saja menjadi kemampuan amat istimewa. Oleh karena itu, orang sakit sangat tergantung pada budi baik orang lain. Organ tubuh tidak mudah diperintah, maka pihak di luar dirinya yang jadi andalan.
Sakit tidak hanya aktivitas terganggu, tetapi juga kehilangan rasa nyaman. Ada rasa sakit yang mendekam pada tubuh kita. Bisa kepala pening, badan lemas, perut mual, bahkan rasa nyeri. Itu semua hadir seiring kita sakit. Bila orang dewasa yang mengalaminya, mungkin mampu menahan untuk tidak mengeluh. Beda tentunya dengan anak kecil atau bayi, mereka bisa merengek dan terus menangis menanggung ketidak nyamanan pada tubuhnya.
Saudara, kita bayangkan ada orang yang menanggung penyakit bertahun-tahun. Tentu, sulit ada orang yang tegar menghadapinya. Hidup dalam serba tidak nyaman. Serba repot. Mau tidak mau jadi ‘menu’ harian yang tidak ringan harus dihadapinya. Dan semakin tidak ringan lagi jika kasusnya seperti seorang sakit yang ditemui Tuhan Yesus di tepi kolam Bethesda.
Tidak main-main perjalanan penderitaannya, 38 tahun. Sepanjang rentang waktu itu, ia harus mengisi hari-harinya dengan tergeletak sakit.
38 tahun, durasi waktu yang amat lama dan panjang. Saya belum pernah menemui orang yang menanggung penyakit selama itu. Angka itu sudah bercerita betapa sabar dan tabahnya orang sakit itu. Bertahun-tahun dia menantikan kesembuhan. Dan bertahun-tahun pula harapannya tak terpenuhi karena kesembuhan tidak kunjung tiba.
Saudaraku. Saat Tuhan Yesus menemuinya dan menawarkan “maukah, engkau sembuh”. Bisa jadi ia ragu-ragu awalnya. Betulkah orang yang ada di hadapannya bisa merealisasikan mimpin dan harapan yang sudah puluhan tahun ia simpan? Wajar jika dia ragu atau sangsi. Sebab, si sakit tidak mengenal sosok asing yang berdiri di hadapannya. Namun, saat Tuhan Yesus memintanya mengangkat tilam atau tikarnya, dia patuh.
Berarti sekecil apapun, ia masih menyimpan harapan suatu saat ada pihak yang mengangkatnya dari lumpur penderitaan panjang. Dan, dia kemudian tahu ternyata tawaran itu bukan omong kosong. Ia sadar bahwa tawaran itu bukan basa-basi dari pihak yang bersimpati. Terbukti kepatuhannya diganjar kesembuhan.
Saudara, perlu disampaikan situasi pada waktu itu. Kejadiannya di kota Yerusalem. Dan Yerusalem sedang dipadati orang-orang yang merayakan hari Pentakosta. Jaman itu, Pentakosta adalah perayaan ucapan syukur panen. Jelas, suasananya meriah. Tapi, di balik kemeriahan itu, ada orang yang tergeletak dengan sakit yang menahun. Ada orang yang luput dari perhatian. Orang banyak lebih fokus pada festival. Orang lebih asyik dengan perayaan.
Di sinilah, kita melihat, Tuhan Yesus menghampiri orang yang terabaikan. Di mata Tuhan Yesus tidak ada yang luput dari perhatiannya. Ia melihat. Ia bertanya. Ia membebaskan perjalanan panjang penderitaan. Badai hidup si sakit sudah berlalu.
Saudaraku, kita belajar dari bacaan di atas, bahwa Allah kita dalam Yesus Kristus, tidak membiarkan ada yang tercecer. Sebuah grafiti atau tulisan di belakang bak mobil truk, “Gusti Allah mboten sare”. Betul, Tuhan itu tidak tidur. Manusia bisa mengabaikan dan masa bodoh atas penderitaan orang lain. Tuhan Yesus tidak. Ia mencari yang letih dan lesu karena penderitaan hidup. Ia menyapa dan memberi kelegaan.
Saudaraku. Harapan yang dibawa kepada Tuhan, kelak harapan itu tidak berujung sia-sia. Tepatlah jika kita merespon ucapan Tuhan Yesus, “ Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. “
Saudaraku, dari pengalaman betapa beratnya sebuah penderitaan dan saat itu Saudara merasa berjuang sendiri. Maka kehadiran Allah dan apa yang dilakukan-Nya atas kita, sungguh melegakan.
Saudaraku, di tengah-tengah penderitaan dan kecemasan saat ini, menjadi peluang buat Anda dan saya menyapa yang tengah bergumul dengan penderitaan. Yakinlah, perhatian kita bagaikan seteguk air di tengah padang pasir. Melegakan.
Kita berdoa, “ Tuhan, sapaan-Mu membawa suasana kehidupan yang baru. Biarlah, kami menerima sapaan kebaikan dan perhatian-Mu. Sekaligus, mampukan kami menoleh dan menguatkan mereka yang tengah bergumul dengan kesulitan. Amin.