Oleh Weinata Sairin
”Hominem pagina nostra sapit”
Tulisan kita memiliki rasa kemanusiaan kita
Kita bersyukur karena kita diberi kemampuan untuk menulis oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Menulis dalam arti biasa sudah kita mulai
sejak kecil: membaca, menulis, dan berhitung (calistung) yang
diajari oleh guru kita dan oleh orangtua kita di rumah. Namun, menulis juga memiliki arti ’mengarang’, menyusun esai atau artikel yang berisi gagasan dan/atau pemikiran kita tentang suatu isu tertentu.
Menulis dalam arti ini adalah bakat/talenta yang tumbuh pada diri
seseorang yang kemudian mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu melalui pelatihan/workshop dan tentu latihan mandiri yang dilakukannya.
Menulis dalam makna pertama ternyata juga tidak terlalu mudah.
Waktu sekolah di SD, pada tahap awal kita diperkenalkan dengan huruf,
lalu kita menghafal abjad dalam lingkup bahasa Indonesia. Baru kemudian kita belajar membaca dan menulis. (Sekarang sejak TK pun sudah diajari membaca dan menulis.) Pada saat itu, dalam pelajaran Menulis, kita diajarkan bagaimana menulis dengan huruf yang bagus dan rapi.
Tatkala ulangan Bahasa Indonesia, khususnya Mengarang, penilaian
berfokus pada aspek ”isi” tulisan itu. Bagi yang menganggap soal tulisan dan kebahasaan itu mudah dan remeh, tentu tak ada masalah.
Sesudah melewati jenjang SD, tentu saja pelajaran Menulis tidak lagi
dialami.
Di jenjang selanjutnya sampai dengan SMA, pada pelajaran Bahasa Indonesia, aktivitas Mengarang harus kita lakukan. Pada saat itu kita menuangkan imajinasi dan gagasan kita dalam bentuk tulisan untuk kemudian diperiksa dan diberi nilai oleh guru.
Patut dicatat bahwa untuk menguji ketepatan kita dalam menulis,
kemampuan ”mendengar” juga menjadi sangat penting. Pada saat saya sekolah di Sekolah Rakyat (SR; setingkat SD sekarang) ada kegiatan tulis-menulis yang bahannya didiktekan oleh guru.
Bapak atau ibu guru membacakan secara perlahan dokumen tertulis dengan aksentuasi dan intonasi sesuai dengan tanda baca, kemudian peserta didik harus mendengarkan dan menuliskan dengan cermat bahan yang didiktekan itu. Biasanya bahan itu sudah tersedia dalam buku Bahasa Indonesia.
Bapak/Ibu guru biasanya memeriksa apakah hal-hal yang didiktekan
tadi telah ditulis dengan tepat oleh kita. Ketepatan menulis dan kecermatan mendengar akan bisa dipantau dengan lebih baik oleh para guru. Akan sangat berbahaya jika ada perbedaan antara apa yang kita dengar dan apa yang kita tulis.
Pada masa kini, terutama kita yang sudah melewati masa-masa SMA,
berbicara tentang ”menulis” berarti berbicara tentang aktivitas seseorang yang memiliki gagagan cerdas, bernas, dan orisinal, yang menuangkannya dalam bentuk tulisan/artikel untuk kemudian dimuat dalam media massa
dan/atau media sosial.
Dalam dunia dan peradaban yang makin maju, kita hidup di tengah
membanjirnya tulisan dalam berbagai wujudnya. Tulisan di media cetak,
buku, dan internet membantu kita memperluas informasi, menambah
keterampilan, dan mengedukasi banyak hal kepada umat manusia. Inilah fungsi penting dari sebuah tulisan.
Hanya, harus disadari bahwa kehausan anak muda merakit bom dan meledakkannya di tempat tertentu, info dan ilmu itu pun mereka peroleh dari tulisan/artikel di internet. Provokasi makar, hasutan untuk melakukan kegiatan destruktif, dan banyak hal negatif lainnya berasal dari tulisan.
Tulisan bisa menampilkan wajah yang multi, yang beragam angle tapi
tetap dalam keduaan, kegandaan: positif dan negatif. Di situlah hakikat
sebuah tulisan baik di koran, buku, maupun internet, medsos, dlsb., selalu mengandung ”dimensi ganda”: ya, positif; ya, negatif.
Pepatah kita menegaskan: ”tulisan kita memiliki rasa kemanusiaan
kita”. Artinya, sesuatu yang kita tulis itu bukan ujaran kebencian, provokator ke arah SARA, penghinaan terhadap agama/aliran agama/lembaga agama, penghujatan terhadap dasar negara, penghinaan kepada negara, atribut negara, pejabat negara, dsb., melainkan tulisan yang menghargai martabat manusia, menghargai dan memajukan HAM, memuliakan manusia sebagai ciptaan Allah, menyadarkan hakikat manusia sebagai ”makhluk yang ditanggungi jawab”.
Mari kita menulis sesuatu yang bermakna bagi peningkatan martabat kemanusiaan, konsistensi terhadap hakikat manusia sebagai khalifah Allah dan imago Dei. Menulislah demi dunia yang lebih ramah dan damai.
Tulislah pikiran-pikiran orisinal yang kita miliki,jangan menjadi plagiat, mengambil tulisan orang dan mengakui sebagai tulisan kita.
Jadilah penulis yang beretika, bermartabat dengan menyampaikan gagasan brilian dan bernas,bukan menghujat atau menghakimi pihak lain. Menulislah demi memperkuat NKRI yang majemuk.
Selamat Berjuang,God Bless!