MEWUJUDKAN KEKRISTENAN OTENTIK DI DUNIA YANG LUKA

Oleh Pdt. Weinata Sairin

”Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan lakukanlah apa yang baik bagi semua orang. Sedapat-dapatnya kalau hal itu bergantung padamu hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.”

Roma 12:17, 18

Ruang-ruang dan koridor dalam bangunan NKRI yang majemuk dalam beberapa waktu terakhir ini agak pengap, bahkan nyaris menyesakkan dada. Iklim seperti itu terasa makin kental dan amat parah terutama di tataran media sosial. Setiap detik, begitu banyak informasi yang memenuhi medsos yang sebagian besar nadanya tidak menyejukkan.

Ada ujaran kebencian yang vulgar dan tidak pantas keluar dari mulut sang tokoh. Ada hasutan, ancaman, provokasi, pelecehan, penistaan, dan berbagai bentuk postingan yang semuanya amat kontraproduktif dalam konteks NKRI yang majemuk.

Seorang pejabat kepolisian pernah menyampaikan informasi ke tengah publik, bahwa ada kelompok cyber yang memang secara khusus membuat informasi yang menyesatkan untuk disebar di medsos dengan tujuan memecah-belah persatuan bangsa. Sinyalemen tersebut menandakan bahwa ada penyalahgunaan teknologi informasi untuk kepentingan negatif yang berbahaya bagi keutuhan NKRI. Udara pengap dan menyesakkan, baik dalam ruang publik maupun di dunia maya, terjadi karena koinsidensi beberapa hal yang dianggap belum memuaskan publik (tertentu), yang kemudian secara kolaboratif meledak ke permukaan.

Disana ada masalah politik (sisa-sisa rezim yang lalu, kontestasi Pilpres, Pilkada, dan lain-lain), masalah ekonomi, dan masalah agama yang dijadikan pemicu.

Ujaran kebencian, gambar dan meme menghujat/melecehkan, gaya manusia arkais dan barbar memenuhi dunia maya dan terekam dalam memori kolektif seluruh warga bangsa. Realitas ini sangat tidak baik bukan saja bagi kesehatan (jiwa), melainkan dalam jangka panjang, yaitu penguatan NKRI yang majemuk.

Umat kristiani mesti cerdas memahami realitas ini, antara lain dengan tidak melakukan langkah-langkah yang mengesankan ‘perlawanan’ terhadap apa yang terjadi di tingkat nasional. Warga Gereja di Indonesia dipanggil untuk makin mengedepankan nilai-nilai luhur kekristenan dan mengekspresikannya di ruang publik.

Dialog, lobi, dan pemikiran kritis konstruktif, yang dulu diteladankan dengan amat baik dan sempurna oleh para tokoh Indonesia Timur tanggal 18 Agustus 1945 dan berhasil mengubah tujuh kata dalam teks Piagam Jakarta, harus tetap menjadi referensi dan inspirasi bagi kita semua.

Kita mesti menghentikan rasa sesak dan tidak nyaman yang terjadi di dunia maya dan di ruang publik. Narasi­narasi positif yang dimiliki agama-agama seperti kasih sayang, silaturahmi, dan kerukunan perlu lebih dikedepankan dan menjadi bagian dari kosakata kita sehari-hari.

Terminologi ”mayoritas”, ”minoritas”, ”genocide”; ujaran kebencian, kata-kata vulgar, pelecehan, dan ungkapan negatif tentang SARA mestinya kita tinggalkan. Pesan Paulus kepada Jemaat Roma patut kita garis bawahi di hari-hari ke depan. Kekristenan tidak boleh berhenti sebatas terminologi atau institusi nirmakna. Kekristenan harus menjadi komunitas bernas di ruang publik yang mengampuni, mendamaikan, menyejukkan, menggarami, dan menerangi.

Tak ada pilihan lain. Mari wujudkan kekristenan otentik di dunia yang luka dan penuh noda, agar makin banyak orang mengenal Kristus Yesus. Jangan terpenjara oleh Corona!

Selamat Menyambut dan Merayakan Hari Minggu. God Bless!